![]() |
Ket. Rinto Namang |
Oleh: Rinto Namang*
Politik, bagi
kebanyakan orang awam merupakan hal tabu, tak jarang juga dianggap sebagai hal
kotor karena di dalamnya berkelindan kompromi kepentingan dan siasat busuk
orang-orang yang ingin meraup keuntungan bagi diri dan golongan. Pandangan itu
diperkuat dengan banyaknya politisi, utamanya di negeri ini, yang terjerat
kasus korupsi, imoral, dan lain sebagainya.
Baru-baru ini kita
semua dikejutkan tsunami korupsi yang dilakukan oleh anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Malang. Saya sebut itu tsunami karena 40 dari 45 anggota DPRD
Malang ditersangkakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Ini bukan hal baru di
Indonesia, namun peristiwa ini semakin menegaskan bahwa politik itu (memang)
kotor dan najis.
Saya rasa tidak
berlebihan jika politik yang demikian dianggap kotor dan najis. Namun,
sungguhkah politik itu begitu kotor dan najis? Politik tidaklah kotor dan najis
sekalipun di sana-sini banyak politisi yang terjerat berbagai macam kasus yang
tidak mencerminkan dirinya sebagai seorang politisi.
Politik merupakan
sebuah seni mengelolah kemungkinan (dan ketidakmungkinan) dengan maksud untuk
menghadirkan rasa keadilan bagi semua. Politik menjadi instrument yang untuk
mengantar segenap masyarakat kepada suatu situasi yang adil, makmur, sejahtera,
dan pada akhirnya bahagia lahir batin.
Pada titik inilah
politik seharusnya dimaknai, namun kebanyakan politisi kita cenderung
mengkerdilkan makna politik hanya sekedar menjadi lapangan pekerjaan, sehingga
yang dikejar hanyalah soal mencari keuntungan sebanyak-banyaknya.
Indonesia Butuh Negarawan
Menjadi seorang
politisi memang berat. Ia tidak hanya berhenti pada sekedar politisi “suam-suam
kuku”, melainkan harus sampai pada puncaknya: menjadi seorang negarawan yang
pikiran dan tindakannya mencerminkan kebijaksanaan dan keadilan.
Seorang negarawan
adalah orang yang pikiran, omongan, serta tindakannya mampu menginspirasi
bahkan mengubah situasi orang-orang yang dipimpinnya menjadi lebih baik.
Seorang pemimpin yang negarawan, menurut Plato, merupakan orang yang memimpin
rakyat dengan bersandar pada kebijaksanaan (ilahi) demi menghadirkan rasa
keadilan bagi seluruhnya tanpa terkecuali.
Di atas segalanya,
seorang pemimpin yang negarawan adalah orang yang mampu membuat bangsanya
menjadi bangsa yang percaya diri, bangsa yang meyakini bahwa dirinya mampu
memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara menuju kepada kesejahteraan dan
kemakmuran.
Bung Karno
mengatakan: “kelemahan kita adalah kurang percaya diri sebagai bangsa, sehingga
kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri dan kurang mempercayai satu sama
lain, padahal kita ini asalnya adalah rakyat gotong royong”.
Omongan Bung Karno
itu menjadi motivasi besar bagi seorang pemimpin bangsa dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Tugasnya berat karena ia harus mengembalikan kepercayaan
diri bangsa untuk saling mempercayai satu sama lain dalam memperjuangkan
kepentingan negara, sehingga pada akhirnya kita mampu menjadi bangsa yang besar
di tengah bangsa-bangsa.
Hari-hari ini
bangsa Indonesia seperti kehilangan arah dalam melangkah. Cita-cita Bung Karno
dan para pendiri bangsa untuk membawa bangsa Indonesia menyeberangi jembatan
emas sampai kepada bangsa yang adil dan makmur, masih belum terwujud karena
kita kehilangan sosok pemimpin yang negarawan. Pemimpin kita hari ini masih
dalam taraf politisi yang mementingkan oligarki kekuasaan dalam
kompromi-kompromi politik ketimbang mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Untuk dapat
menyebrangi jembatan emas hingga tiba pada kemerdekaan sejati itu, kita perlu
suatu kekuatan besar, sebuah kekuatan yang sudah terkandung di dalam Pancasila
itu sendiri, yakni rasa persatuan. Rasa persatuan akan membuat bangsa ini menjadi
bangsa yang besar, bangsa yang percaya diri. Tanpa rasa persatuan kita hanyalah
kepingan sejarah besar masa lalu yang minder di tengah pergaulan antarbangsa.
Indonesia
membutuhkan pemimpin berjiwa negarawan yang mampu menjahit kembali rasa
persatuan kita yang telah terkoyak oleh isu-isu primordial, bukan pemimpin yang
gemar menyulut provokasi yang membelah “kekitaan” menjadi “kami” dan
“mereka.” Indonesia butuh pemimpin yang
negarawan untuk membuat bangsa menjadi bangsa yang mandiri, bukan politisi yang
menghamba pada tuan-tuan kapitalis Barat yang datang menjajah.
“Kita bangsa besar,
kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta,
apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu! Lebih baik makan gaplek
tetapi merdeka, daripada makan bistik tapi budak,” demikian Bung Karno.
Kekhawatiran Bung
Karno sekarang menjadi nyata. Kita bak budak di negeri sendiri. Punya tanah air
yang kaya akan sumber daya, namun hidup melarat. Di tengah kemelaratan, negara
seakan tutup mata, malah mendatangkan tenaga kerja-tenaga kerja asing untuk
membangun infrastruktur. Kita makan gaplek bukan sebagai bangsa merdeka seperti
kata Bung Karno, tetapi sebagai bangsa tempe yang menghamba pada asing.
Indonesia adalah
bangsa besar dan kaya, namun salah urus sehingga bangsa besar itu hanya jadi
jargon untuk pencitraan. Kekayaan kita menjadi konsumsi bangsa-bangsa asing,
sementara di sini kita kehilangan arah untuk melanjutkan hidup, sibuk untuk
merajut persatuan antarsesama anak bangsa.
Politik sejatinya
suci jika diurus oleh pemimpin-pemimpin berjiwa negarawan. Sebaliknya, menjadi
suatu kenajisan karena dikendalikan oleh orang-orang yang sibuk memperkaya diri
dan golongan sehingga lupa menghadirkan rasa keadilan kepada seluruh rakyat.
KOMENTAR