![]() |
Thomas Tukan (Foto. Istimewa) |
Oleh: Thomas Tukan*
Situasi Hak
Asasi Manusia Papua di berbagai bidang tetap memburuk. Beragam peristiwa
kekerasan, penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap masyarakat sipil di
negeri emas ini terjadi dari tahun ke tahun, tidak berujung – tidak pernah
habis! Papua masih menjadi zona merah di bidang hak asasi manusia. Tulisan ini
mencoba mengingatkan kita kembali atas sekian banyak peristiwa di Papua yang
pernah terungkap dan dibahas dalam perspektif HAM.
Atau, minimal
sekali sebagai sumbangan tidak bernilai untuk kembali merawat dan mengingatkan
kita pada suara-suara korban yang hampir terlupakan. Papua seperti daerah tanpa
Negara! Saya menyebut ini dengan sangat hati-hati, takut dianggap pemberontak,
ditangkap sebagai separatis, sekalipun saya bukan orang Papua – bukan secara
biologis, tapi saya adalah Papua secara nasib!
Peter Drucker
salah seorang Guru Manajemen sejagad berpendapat bahwa “sesungguhnya tidak ada
ada negara yang miskin atau terbelakang, yang ada adalah negara-negara yang
tidak terkelolah (unmanaged) dengan baik sekaligus tidak memiliki kepemimpinan
(leadership) yang efektif”. Jika Peter Drucker benar, maka pemikirannya ini
bisa menjadi pijakan hipotesis kita tentang faktor penyebab krisis HAM yang
melanda di negeri Papua.
Saya berpikir
tidaklah prematur bila menyebut persoalan HAM Papua adalah akibat dari
unmanaged negara. Apa sebutan paling pas, bila 73 tahun negara ini merdeka,
katanya bebas dari imperium kolonialisme luar, menerima deklarasi HAM sebagai
landasan konstitusi negaranya, meratifikasi berpuluh-ratus aturan tentang HAM,
lalu Papua masih tetap darurat HAM – kalau bukan negara tidak benar dan tidak
mampu mengurusnya?!
Jelang akhir
2015 hingga periode awal 2016 tersiar kabar puluhan anak mati dari Distrik Mbua
(sekita 54 orang), lalu terungkap sekitar 90% anak-anak Mbua terkena ISPA
(Infeksi Saluran Pernapasan Akut).[1]
Selain itu, Papua belum terbebas dari kondisi kritis endemik HIV-AIDS. Data
yang dihimpun hinggah triwulan kedua, Juni 2016 sebanyak 25.349 kasus HIV-AIDS,
yang tersebar di 29 kabupaten/kota. Orang yang meninggal dunia karena HIV-AIDS
mencapai 1836 jiwa.[2] Jumlah
ini sangatlah mengkhawatirkan dan telah menjadi ancaman luar biasa bagi
keberlangsungan hidup orang-orang di tanah Papua. Kematian balita yang beruntun
dalam beberapa bulan dan tantangan HIV-AIDS merupakakn kegagalan negara (Pusat
dan Daerah) untuk memutuskan rantai kematian, dan menjadi potret keseluruhan
bagaimana hak asasi kesehatan di Papua terlupakan.
Kebebasan
berekspresi di Papua semakin memburuk. Protes damai yang berlangsung sepanjang
tahun, terakhir menghadapi kekuatan dan tekanan dari pihak keamanan militer
tentara dan polisi. Aparat keamanan menangkap secara sewenang-wenang disertai
penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi. Kita tidak bisa menghitung lagi
berapa jumlah aktivitas kebebasan berekspresi orang Papua yang dibubarkan
secara paksa oleh negara. Selama 4 tahun terakhir sejumlah aktivis Papua
diadili dengan tuduhan makar dan penghasutan saat berbicara depan umum. Mereka
diadili dan dijatuhi hukuman penjara.
Contohnya Steven Itlay dkk: aktivis KNPB Timika. Bahkan
beberapa korban aktivis dan masyarakat sipil yang mengisahkan kematian
misterius, seperti Robert Jitmau: kordinator Solidaritas Pedagang Asli Papua
yang dikenal aktif mendampingi mama-mama Papua memperjuangkan pasar permanen;
dan Otinus Sondegau: seorang anak 16 tahun pelajar SMP di Sugapa yang meninggal
karena ditembak oleh satuan Brimob pada Agustus 2016. Nama-nama ini hanyalah
sedikit, mewakili dari sekian korban yang mungkin tidak terkuak dan didiamkan
oleh masyarakat karena takut pada negaranya.
Sampai hari ini
masyarakat Papua sulit mendapatkan haknya memperoleh informasi yang bebas. Kran
kebebasan informasi tidak kunjung dibuka dan menjadi jalan terjal bagi
kehidupan pers tanah Papua. Janji kebebasan pers pernah diungkapkan oleh
presiden Joko Widodo pada 2015. Saat itu tuan Presiden menjanjikan wartawan
luar negeri bebas datang meliput Papua. Tahun pertama Jokowi membuat harapan
bagi masyarakat Papua, namun “sayang seribu sayang” persoalan kebebasan pers
tampaknya lebih kompleks yang presiden bayangkan. Pernyataan seorang kepala
negara tak sepenuhnya disepakati institusi-institusi pemerintah lainnya.
Di tingkat
lapangan, aparat keamanan tetap menjadi pihak yang mengontrol proses kebebasan
pers dan arus informasi. Aliansi Jurnal Independen Kota Jayapura mencatat
selama 2016-2017 pelanggaran kemerdekaan pers dilakukan oleh aparat keamanan,
misalnya: perusakan alat-alat jurnalistik, penghalangan dan intimidasi wartawan
sampai pada pemblokiran media.[3] Diperparah lagi nasib media dan wartawan
menjadi “pancaroba” karena lemahnya perlindungan hukum yang ada di sana. Papua
sungguh sangat digembok pintu ekspresinya!!
Proses hukum
bagi aparat keamanan yang melakukan pelanggaran hukum dilakukan oleh institusi
kepolisian, bila mendapat desakan dan tekanan dari publik. Namun kasus yang
tidak terekspos besar oleh media yang terpantau publik dan kalangan pembela
HAM, tidak akan mendapat perhatian dari kepolisian. Pelaku dibiarkan tanpa
dilakukan penegakan hukum. Praktik impunitas yang tinggi bagi aparat keamanan
yang melakukan tidakan sewenang-wenang semakin memperburuk situasi HAM di tanah
Papua.
Ancaman berikut
yang sedang dihadapi masyarakat Papua adalah bukan dengan aparat keamanan saja,
namun dengan alat berat eskavator yang membongkar dusun dan hutan adat milik
mereka oleh perusahaan sawit. Sebuah perampasan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(Ekosob) masyarakat yang bila dipandang serius berindikasi pada kejahatan
genosida yang tersistematis. Kehadiran negara melegalkan bisnis ini dengan
mem-backup segalanya dan membuat orang Papua harus berhadapan dengan senjata
ketika hak-haknya dirampas.
Apakah belum
adil selama ini, bahwa SDA itu milik dan aset orang Papua dan Jakarta yang
dapat pajaknya?? Untuk siapakah pembangunan jalan trans Papua itu? Untuk orang
Papua kah, atau untuk para pengembang sawit?? Tanah itu ada pemiliknya! Orang
Papua pun tahu dengan pasti bahwa pembangunan ini orang Papua hanya “tahu
jadinya” saja dan tidak menjadi pelaku utamanya.
Pada tahun 2016
persoalan pelanggaran HAM di Papua mendapat sorotan dari sejumlah negara-negara
di kawasan Pasifik. Asosiasi negara-negara Melanesia atau Melanesian Spearhead
Group (MSG) dan Pasifik Island Forum (PIF) memasukan agenda HAM Papua dalam
sidang dan mendesak penanganan dan penyelesaian secara serius. Kritikan keras
kepada Pemerintah Indonesia yang tidak mau terbuka dan berniat baik menjalin
komunikasi terkait pelanggaran HAM Papua. Bahkan desakan negara pasifik inipun
telah sampai ke forum PBB untuk sebisa mungkin mendorong keterlibatannya
mengambil alih penanganan masalah HAM di Papua.
Indonesia
sendiri melalui perhatian Presiden Joko Widodo terhadap Papua dari awal periode
patut diapresiasi. Salah satunya adalah langkah nyata pembebasan 5 tahanan
politik Papua pada 9 Mei 2015. Presiden dianggap berani menyentuh persoalan
tahanan politik yang beberapa dekade ditentang oleh pemerintah Indonesia.
Termaksud janjinya memperbolehkan wartawan asing masuk ke Papua. Namun 4 tahun
sudah berjalan dan situasi Papua makin terpuruk. Jokowi dipandang tidak berani
dan tegas dalam penangan persoalan HAM di Papua.
Kita menyesal
konflik kekerasan yang selalu terjadi di tanah Papua. Termaksud pembunuhan 31
pekerja proyek Trans Papua di Kabupaten Nduga baru-baru ini. Apakah benar itu
perbuatan kelompok separatis? Saya sendiri pun tidak yakin! Hal ini karena
tidak adanya kata sepakat dari pimpinan negara untuk mengakhiri konflik
tersebut. Evaluasi Papua harus dilihat secara holistik-komprehensif, bukan
karbitan semata. Sebab pemerintah perlu tahu, banyak hal esensial yang membuat
orang Papua tolak pembangunan. Memang benar infrastruktur Papua itu penting,
namun jauh dari itu pembangunan manusia di Papua harus menjadi prioritas
pemerintah. Apakah tidak jahat bila pemerintah gencar membangun proyek negara
di Papua lalu mengabaikan dan merampas hak-hak keterlibatan manusianya?
Bertahun lamanya
pemimpin negara membangun kesejahteraan rakyat, namun cara yang dipakai selalu
menjadikan orang Papua dan tanah Papuanya sebagai obyek. Bukan sebagai subyek!
Papua hidup dengan tatanannya berdasarkan budaya dan adat – hidup dan tumbuh
sebagai instrument yang membuat orang Papua mendiami buminya ribuan tahun yang
lalu sampai sekarang. Budaya dan adat orang Papua itu jelas! Rumah itu harus
dibangun sendiri, bukan dibangun orang lain. Kalaupun rumah dibangun sendiri
dan memerlukan bantuan, itu pasti datang dari dalam sendiri dan bukan dari
luar.[4]
Saya teringat
dengan pesan Ben Mboi, seorang dokter militer dan mantan Gubernur NTT, dalam
memoarnya selepas setelah pulang dari misi Irian Barat tahun 1963. “Saya
melihat sesungguh perebutan Irian Barat dengan militer kembali ke pangkuan
Indonesia barulah sebuah cerita awal! Cerita akhir mengembalikan Papua
semestinya sudah dengan pendekatan kebijakan pembangunan yang berbudaya, bukan
masih dengan pendekatan budaya militer”. Bagi saya ini adalah pesan kemanusian.
Bagaimana mungkin sebuah daerah yang oleh mereka surga kecil jatuh ke dunia
itu, namun oleh negara harus dihadapi dengan over militer, pembangunan pos-pos
TNI/Polisi dimana-mana, lalu kita menganggap mereka telah bernafas bebas?
Sepertinya ada
lembaran sejarah tentang Papua yang tidak sepenuhnya negara mengakui secara
jujur. Rangkaian peristiwa pelanggaran HAM yang tidak putus-patah di Papua itu
dipandang sebagai kejahatan struktural. Bahwa yang terjadi itu sebagai
akibatnya, namun sebagai penyebabnya adalah ketidakmampuan kita untuk mengelola
dan mengurus Papua, dan diperparah ketidak punyaan pemimpin kita yang mengurus
dengan hati. Peter Drucker benar kali ini!
Kejahatan HAM di
Papua bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi sumbangan ketimpangan
struktural dari variable-variabel lainnya yang sengaja dilupakan, semisal
ketimpangan kebijakan, pengabaian terhadap sistem budaya dan adat, Otonomi
Khusus yang tidak dengan hati, penuh dengan KKN dan lain sebagainya.
Kisah yang
diulas di atas adalah sebagian kecil saja dalam rentan waktu 4 tahun kepemimpinan
Jokowi-JK. Masih banyak yang belum terpublikasi. Meski dalam keterbatasan akses
itu, namun tidak menutup pintu bagi masyarakat Papua, media dan aktivis HAM
untuk senantiasa memperjuangkan hak asasi keadilan. Kalau saja ada kehendak dan
itikad baik pemerintah untuk tidak membatasi, membuka ruang bernafas masyarakat
dan para pejuang HAM, serta jujur mengakui diri, maka mungkin saja Papua akan
bisa diperbaiki, minimal berkurang persoalan HAM nya. Mereka warganegara, punya
hak asasi yang sama tinggi – sama rendah dengan warganegara lainnya.
Papua terus
menerus dijejal dengan kebijakan dari Jakarta. Walaupun tidak menyentuh, mereka
tahu bila protes/angkat suara, biasanya nyawa terancam dan bisa saja mati tidak
jelas. Negara menciptakan ketakutan, alih-alih bahwa Papua sudah membaik. Namun
bila terus-menerus, ketakutan itu bisa terkumpul kuat menjadi keberanian yang
permanen. Indonesia jangan terkejut akan hal itu. Mungkin saja bayangan
genting, rumit dan sulitnya Papua bukan berada di lapangan kehidupan mereka,
tapi berada dalam isi kepala nya para pemimpin. Pemerintah lupa, jika yang
paling mengetahui tentang Papua adalah orang Papua sendiri. Olehnya stop
kekerasan atas nama pembangunan!
Selamat hari HAM Sedunia, 10 Desember
2018!!
*Penulis adalah aktivis PMKRI, Peminat Isu
HAM
[1]
Aventinus Jenaru, dkk, Seri Memoria
Passionis No. 31, Papua di Ambang Kehancuran, SKPKC, Papua, 2016
[2] Ibid.,
[3] Ibid.,
KOMENTAR