Oleh: Moehar Sjahdi*
“
maka catatlah ini
Alfonso de Alburqueque
siapapun yang mengutusmu
dengarkan aku!
orang terjajah
yang mati sekali
lahir beribu kali
catatlah ini
bukan mesiu
yang aku takutkan
tapi jalan jalan terbuka
dari Malaka ke Maluku.
…
Historia magistra vitae, sejarah adalah guru
yang baik. Atas alasan sejarah jua, maka pengakuan tentang “orang terjajah”
menjadi bukan sekadar rentetan pengalaman pada peristiwa silam. Lebih dari itu
merupakan ekspresi mental dan kesadaran yang menubuh dalam setiap diri. Hal
tersebut lantas ditegaskan melalui dua larik yang mengikutinya: “yang mati
sekali/ lahir beribu kali.”
Beberapa larik dari penggalan sajak berjudul
“Tiga Negeri dalam Satu Sajak Epik” karya Bara Pattyradja, penyair Indonesia
asal Lamahala, Flores Timur, NTT, mengawali catatan ini, hemat saya, tidak lain
sebagai sebuah titik jumpa antara teks sastra dengan dialektika sejarah. Oleh
sebabnya, membaca sajak epik tersebut seperti sedang menziarahi diri sendiri.
Kita tak hanya diajak menyimak bunyi-bunyi yang melirih, tapi sekaligus
mengalami sunyi-sunyi yang memalung.
Pada penggalan sajak di atas, terutama di tiga
larik awal, konotasi tentang ziarah diri itu tepat diletakkan. Kemampuan sang
penyair, tidak sekadar mendiksi, tapi pula menapak tilasi jejak “Alfonso de
Alburqueque” sebagai—satu di antara—subyek antagonisme sejarah yang menandai
keseluruhan awal bangunan teks. Lalu larik pertama, ketiga, kemudian lima larik
paling akhir yang mewakili gaya khas romantisme namun berapi-api: “maka
catatalah ini…/ siapapun yang mengutusmu, dengarkan aku!.../ catatlah ini/
bukan mesiu/ yang aku takutkan/ tapi jalan jalan terbuka/ dari Malaka ke
Maluku…”
Ziarah tersebut melintasi ruang dan waktu pada
beberapa subyek yang berbeda, sebagai negasi dari antagonisme sejarah itu
sendiri. Dari Pangeran Bualawa, Sultan Khairun hingga Sultan Baabullah. Dari
negeri Alor Bungabali, Lamakera, Lebala, Terong Watanpao hingga Lamahala.
“
salam bagimu Pangeran Bualawa
gemetar lambung perahu thuma’ninah-ku
di jalan mana datuk datuk datang
dari lubuk gapi yang lengang
menebar kalimah
di Alor Bungabali, Solor Watanlema
daulat bagimu Sultan Khairun
darahmu yang harum
menggenangi Jaziratul Mulk
karena dusta Lopez de Mosquita
di bisu Benteng Gamlamo
berkah bagimu tuanku Baabullah Datuk Syah
72 negeri berdenyut di nadimu
tak tumpur pada meriam
tak lekang pada sejarah
….
salam bagimu Lamakera
kutub pulau yang tangguh
salam bagimu Lebala
mata awas samudra
selimut laut Sawu
salam bagimu Terong Watanpao
suluh di lubuk daratan
pucuk lontar yang rekah
salam bagimu Lamahala
tanah Troya
serambi Adonara
….
Sebuah Titik Jumpa
Sebagai ekspresi mental dan kesadaran, jelas
bahwa sang penyair justru sedang menyuguhkan kepada khalayak pembaca tentang
dimensi kesejarahan yang dialektis melalui bangunan teks sastra. Sebuah ikhtiar
yang cukup imajinal mereduksi keumuman membaca sejarah secara kaku dan monoton.
Atau apa yang saya istilahkan sendiri sebagai: titik jumpa.
Pada tahap ini, upaya tersebut dapat dipahami
sebagai ‘cara’ atau ‘metode’ itu sendiri untuk memahami pesan kontekstual dari
setiap larik dan bait sajak. Sebab bagaimanapun, subyektifitas pengarang adalah
‘tirai’ yang membatasi dirinya dengan pembaca. Untuk alasan tersebut, maka
‘dalil’ tentang the death of author-nya Barthes (1915-1980) bukan tidak mungkin
bisa diafirmasi. Sebuah titik jumpa, dengan demikian, secara fungsionil lebih
bersifat mediatif. Sehingga sebagai pembaca, melihat dari sudut pandang yang
berbeda ialah pilihan.
Maka, Geserlah!
“Tiga Negeri dalam Satu Sajak Epik”, ialah satu
di antara 31 sajak yang sengaja dipilih menjadi obyek pembahasan dalam ulasan
sederhana ini. 31 sajak tersebut terhimpun menjadi sebuah buku puisi bertajuk
Geser Dikit Halaman Hatimu (GDHH). Sebuah karya antologi Bara Pattyradja yang
kelima. Segera setelah sebuah karya semi autobiografi ia lahirkan berjudul “Aku
Adalah Peluru” (2019).
Uniknya, buku puisi lelaki hitam manis kelahiran
36 tahun silam ini, berbeda dengan buku puisi di Indonesia pada umumnya. Buku
puisi ini dilengkapi dengan QR Code Audio Version Poetry Reading, sehingga
dapat langsung mendengarkan puisi-puisi yang ada di dalamnya. Dibacakan oleh
Olivia Zallianty, sang artis penuh talenta sekaligus adik kandung Marsela
Zallianty itu. Lalu Azizah Zubaer, seorang pegiat sastra dan Bara Pattyradja
sendiri yang diiringi oleh alunan nada musik oleh Kakanz dan Redy Afrians serta
dua tembang lagu dari Erwin Lewulelek yang diaransmen oleh Hans Lemen.
Saya hendak menutup ulasan ini dengan sedikit
mengulik beberapa larik puisi Geser Dikit Halaman Hatimu.
“
geser dikit
halaman hatimu
sebelum
slogan-slogan
membunuh
akal sehatmu
seperti iklan sabun colek
…..
Secara keseluruhan, puisi ini memang hadir
sebagai sebuah bentuk protes sosial atas realitas kehidupan di masyarakat yang
terlampau dicemari oleh comberan kekuasaan yang saban waktu mengatasnamakan
agama, ideologi, sentimen ras, etnis, dan lain-lain. Sebuah gambaran realitas
sosial hari hari ini yang gamang dan banal, berjarak dari keadaban sosial itu
sendiri.
Di samping itu, hemat saya, tepat di sini pesan
simbolik yang diselipkan sang penyair dalam membangun teksnya. Setidaknya pada
sepenggal puisi yang saya kutip di atas, ada penekanan pada diksi “akal
sehatmu.” Bagi saya, sampai pada titik ziarah diri puitik itu hanya mampu
digerakkan oleh akal sehat. Sebab pilihan melakukan ziarah ialah pilihan akal
sehat.
Akan tetapi, hal tersebut justru bukan tanpa
syarat. Mengapa? Sebab harus didahului dengan “geser dikit/ halaman hatimu.”
Jika tidak, akibatnya “slogan-slogan/ membunuh/ akal sehatmu/ seperti iklan
sabun colek.” Maka, geserlah!
*Penulis adalah Penikmat
Sastra dan Sejarah
KOMENTAR