![]() |
Ket. Komda VIII didampingi ketua presidium PMKRI Palangkaraya, Banjarmasin dan Samarinda saat menggelar konferensi pers hasil KSR KOMDA VII |
SAMARINDA,
VERBIVORA.COM- Konferensi
Studi Regional (KSR) Komisariat Daerah (KOMDA) VIII (Kaltim, Kalteng, Kalsel)
Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Santo Thomas Aquinas
Tahun 2019 telah selesai digelar.
Forum kajian ilmiah yang juga merupakan pendidikan formal
berjenjang dalam internal PMKRI ini mengangkat tema "Dampak Ekologi, HAM
dan Sosial Budaya Terhadap Daerah Calon Ibukota Negara" digelar di Aula
Keuskupan Agung Samarinda selama 5 hari dan ditutup pada hari ini Sabtu, 7
September petang.
Peserta KSR ini berjumlah 25 orang, merupakan kader-kader
terbaik dari Regio VIII, 8 orang delegasi PMKRI Cabang Palangkaraya, 5 orang
delegasi PMKRI Cabang Banjarmasin dan 12 orang delegasi PMKRI Cabang Samarinda
juga sebagai tuan rumah kegiatan.
Kegiatan diawali dengan Misa Pembukaan yang dipimpin oleh
Pastor Claudius dan Sidang Kehormatan yang dipimpin langsung oleh Presidium
Hubungan Luar Negeri PP PMKRI, Prudensius Dhager Sarane, Senin 2/9.
Dilanjutkan Seminar Nasional pada hari Selasa sekaligus
pembukaan secara resmi oleh Uskup Agung Keuskupan Agung Samarinda, Mgr. Yustinus
Harjosusanto serta Asisten III Pemerintah Provinsi Kaltim, Fathul Halim.
Adapun narasumber dalam seminar adalah Bernaulus Saragih,
akademisi kehutanan Kaltim, Jhon Muhammad, aktivis HAM, Roedy Haryo Widjono,
budayawan Kaltim, Perwakilan Bappenas dan Ketua Vox Point Indonesia, Yohanes
Handojo serta Charles Siahaan, Jurnalis Senior Kaltim yang dipercaya sebagai
moderator.
Bernaulus Saragih, salah satu narasumber seminar mengatakan,
walaupun belum ada Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), yang pasti
pemindahan Ibukota Negara ke Kalimantan akan berdampak pada lingkungan.
Lokasi yang dipilih untuk dijadikan Ibukota tuturnya,
merupakan daerah yang dikelilingi hutan dan akan memakan anggaran yang banyak,
apabila hutan yang dijadikan Ibukota tersebut digusur maka akan berdampak pada
berkurangnya mata air yang menjadi kebutuhan masyarakat.
Sementara Roedy Haryo Widjono, budayawan Kaltim yang juga
menjadi narasumber seminar, lebih menekankan pada pengembalian aset alam dan
budaya leluhur Kalimantan yang telah rusak.
Kegiatan diteruskan dengan Focuss Group Discution (FGD) oleh
seluruh peserta yang telah dibagi menjadi 3 komisi yaitu Komisi Ekologi, Komisi
HAM dan Komisi Sosial Budaya. Hasil FGD dari masing-masing komisi kemudian
dibahas dalam sidang pleno dan menghasilkan rekomendasi. Kegiatan ditutup
dengan Konferensi Pers dan Sidang Penutupan.
Dalam konferensi persnya, Raja Ivan Sihombing, Komisaris
Daerah Regio VIII, mengatakan rekomendasi dari KSR ini selanjutnya akan
disampaikan ke Pemerintah Daerah setempat dan Presiden Republik Indonesia
melalui Bappenas, juga akan dibawa dalam forum yang lebih tinggi di PMKRI yaitu
Konferensi Studi Nasional (KSN) yang digelar di Kota Kupang, 18 September
mendatang.
Hasil Rekomendasi KSR
Komda VIII PMKRI
Berikut ini adalah rekomendasi yang dihasilkan dalam
Konferensi Studi Regional (KSR) Komisariat Daerah Regio VIII PMKRI,
Komisi Ekologi
1. Dalam pemindahan ibu kota Negara, pemerintah harus
memperhatikan kelestarian alam dan lingkungan berdasarkan undang – undang no.
32 tahun 2009 pasal 1 ayat 2 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup
2. Mendorong pemerintah melalui (BAPPENAS) untuk membuat
desain ibu kota negara berlandaskan green city
3. Mendorong pemerintah untuk membuat turunan undang – undang
yang menjelaskan secara spesifik mengenai perlindungan obat tradisional
berdasarkan undang – undang no.5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya
4. Menekan pemerintah pusat untuk memperhatikan kekayaan alam
daerah penyangga ibukota negara
5. Meminta pemerintah daerah agar menyelesaikan permasalahan
ekologi yang sedang terjadi,dengan menutup lubang tambang dan mereboisasi
kembali hutan di Kaltim, Kalsel, dan Kalteng yang saat ini sudah rusak
Komisi HAM
1. Mendorong pemerintah untuk menyediakan infrastruktur dan
ketenagaakerjaan yang berkualitas , baik di bidang kesehatan, pendidikan dan
ekonomi. (berdasarkan UU No 39 tahun 1999
HAM BAB III Pasal 9 ayat 1, 2 dan 3 tentang Hak Asasi Manusia Dan
Kebebasan Dasar Manusia)
2. Mendorong pemerintah untuk meningkatkan pelayanan publik
dan keamanan kepada masyarakat adat dan pendatang. (berdasarkan UU No 39 tahun
1999 HAM Pasal 29 Ayat 1 tentang Hak Atas Rasa Aman, Pasal 40 dan Pasal 41 Ayat
1 Tentang Hak Atas Kesejahteraan)
3. Mendorong pemerintah untuk mensosialisasikan betapa
pentingnya nota kesepahaman (MOU) antara masyarakat adat dan perusahaan
(dibawah naungan pemerintah) terkait penyediaan lowongan pekerjaan.
(berdasarkan UU HAM No 39 tahun 1999 BAB
III Pasal 12 tentang Hak Mengembangkan Diri)
4. Meminta agar Pemerintah
memperhatikan hak masyarakat adat
dan memperketat perijinan perusahaan-perusahaan yang masuk ke Kalimantan serta
merevisi / mencabut UU dan peraturan
daerah yang tidak berpihak kepada masyarakat adat. (berdasarkan UU Dasar 1945
Pasal 18 (B) ayat 2, UU HAM No 39 tahun 1999 BAB II Pasal 6 ayat 1 dan 2
tentang Asas-Asas Dasar, Pasal 31 Ayat 1 dan 2 tentang Hak Atas Rasa Aman,
Pasal 44 Tentang Hak Turut Serta dalam Pemerintahan)
5. Meminta pemerintah tidak melibatkan TNI/POLRI dalam
pembebesan lahan yang akan di jadikan
daerah ibu kota negara diluar tanah milik negara dan lebih melakukan pendekatan sosial dengan
melibatkan tokoh masyarakat, adat, dan agama. (berdasarkan UU no 39 tahun 1999 pasal 29 ayat 1tentang hak
atas rasa aman)
Komisi Sosial Budaya
1. Meminta agar pemerintah untuk mengakui serta menjaga
keberadaan kepercayaan suku asli daerah Kalimantan yaitu kaharingan
(Pasal 28E ayat(2) UUD 1945 “setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan” Pasal
28i ayat(1) UUD 1945 “ bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi
manusia” Pasal 29 ayat(2) UUD 1945 “ Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduknya untuk memeluk agama”)
2. Meminta pemerintah Manjadikan kebudayaan dayak sebagai mata
pelajaran wajib dalam pendidikan di Kalimantan
UUD 1945 Pasal 32 ayat (1)
“Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah
peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan
mengembangkan nilai-nilai budayanya”
UU No 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, lahir dalam
rangka melindungi, memanfaatkan, dan mengembangkan kebudayaan Indonesia
3. Meminta pemerintah pusat/daerah lebih menonjolkan budaya
masyarakat adat dengan cara mengadakan festival kebudayaan, dengan catatan
tidak menghilangkan makna dan mengurangi substansi yang sesungguhnya dari
kebudayaan masyarat adat itu sendiri
4. Mewajibkan pemerintah agar pembangunan infrastruktur
(pemerintahan, bisnis maupun fasilitas umum) yang dilakukan di Lokasi Ibu Kota
Negara maupun di provinsi penyangga harus bernuansa Dayak serta tidak membangun
fasilitas umum yang bernuansa keagamaan
5. Meminta Pemerintah membangun komunikasi yang baik dengan
masyarakat adat dan wajib menghormati serta menghargai segala hal yang
berhubungan dengan tradisi masyarakat adat di wilayah Ibu Kota Negara.
6. Meminta pemerintah untuk menjadikan batik khas kalimantan
sebagai seragam wajib dikenakan oleh Aparatur Sipil Negara dan pelajar di
seluruh kalimantan pada hari tertentu
KOMENTAR