PP PMKRI Dorong Demokrasi Berkualitas Lewat Dialog

Foto : instagram/pmkri.center

Jakarta, verbivora.com – Menjelang akhir tahun 2022, Pengurus Pusat PMKRI menggelar acara dialog publik bertema Menegosiasikan Ulang Demokrasi Indonesia (Telaah Mendalam Demokrasi Indonesia Setahun Terakhir) dengan menghadirkan sejumlah akademisi, peneliti, politisi dan aktivis pro demokrasi,

1. Dubes Kazakhstan dan Tajikistan, Fadjroel Rachman 

2. Politisi PDIP, Budiman Sudjatmiko 

3. Direktur Politician Academi, Bonggas Adhi Chandra 

4. Direktur Lokataru, Hariz 

5. Direktur Eksekutif PARA Syndicate, Ari Nurcahyo dan,

6. Researcher PolGov UGM, Ignatius Juru 

Diskusi yang digelar secara daring, Rabu (28/12/2022) dan dihadiri ratusan peserta,ini sejatinya menjadi simbol atas terbukanya pintu Indonesia menuju demokrasi yang sehat dan berdaulat rakyat.

Acara yang dipandu oleh Astra Tandang (Ketua Litbang PP PMKRI) ini diselenggarakan dalam payung program “Aquinas Election Corner” sebuah program penguatan demokrasi, baik dalam lingkup elektoral maupun dalam lingkup lebih luas. Program Election Corner ini akan berlangsung secara multi years, dari tahun 2022 hingga 2024 dan setelahnya, dengan sejumlah cakupan, termasuk: (1) pendidikan kewargaan dan kepemiluan; (2) future leader forum; (3) bedah program kandidat; (4) kinerja penyelenggara pemilu; dan tema lain yang terkait.

Yuventus Seran, Anggota Litbang PP PMKRI mengatakan bahwa acara dialog publik ini dilakukan dalam upaya untuk mengembangkan diskursus politik kewarganegaraan, politik elektoral yang partisipatif untuk mendorong regenerasi kepemimpinan nasional yang legitim, penguatan kelembagaan demokrasi dan mewujudkan budaya demokrasi yang berkualitas.

Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Presidium PP PMKRI, Tri Natalia Urada saat memberikan opening speech. Ia mengatakan demokrasi Indonesia penting untuk dirumuskan kembali agar lebih sehat dan inovatif. 

“Demokrasi adalah kerja bersama untuk memperbaiki kehidupan bersama. Karena itu, penting didukung dengan masyarakat sipil yang kuat, lembaga demokrasi yang sehat dan perilaku para elit yang berpihak kepada kepentingan bersama untuk mendorong demokrasi yang berbasis ide, inovasi dan berkualitas,”ucap Tri.

Lesuhnya Demokrasi

Dalam catatan Litbang PP PMKRI tahun 2022, nasib demokrasi kerap menjadi bahan perbincangan dan sumber keprihatinan banyak pihak. Di seluruh dunia, demokrasi dinilai sedang mengalami kemunduran (decline). Menurut Economist Intelligence Unit (EIU), saat ini demokrasi sedang berada pada titik terendah sejak tahun 2006 (The State of Global Democracy, 2022). 

Banyak negara, yang tadinya sedang dalam proses transisi maupun konsolidasi demokrasi, alih-alih menjadi demokrasi sepenuhnya (full democracy), kini malah mengalami stagnasi atau bahkan regresi demokrasi. Dengan kata lain, demokrasi sedang mengalami krisis.

Indonesia, yang kerap memandang dirinya sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, juga dihadapkan pada masalah merosotnya demokrasi ini. 

Masyarakat sipil Indonesia, misalnya, mengkritik keras sejumlah perkembangan yang dinilai dapat melemahkan demokrasi, seperti wacana memperpanjang masa jabatan Presiden, tingginya kasus korupsi yang melibatkan para politisi dan pejabat pemerintahan, disahkannya sejumlah undang-undang yang dinilai membatasi hak-hak warga atau tidak berpihak kepada kepentingan rakyat, dan berbagai masalah serius yang menjerat lembaga dan aparat penegak hukum.

Berbagai kritik lainnya juga dialamatkan pada menguatnya kecenderungan semangat otoritarianisme, menyempitnya civic space, menurunnya toleransi negara terhadap sikap kritis dan kritik, serta dorongan untuk menjalankan dan mempertahankan kekuasaan dengan memanfaatkan hukum secara diskriminatif (rule by law) dan bukan berdasarkan hukum (rule of law).

Soal Perpanjangan Masa Jabatan Presiden

Ketujuh narasumber dalam diskusi tersebut menyepakati bahwa demokrasi Indonesia penting untuk dinegosiasi ulang untuk mewujudkan praktik demokrasi yang berkualitas demi terjaminnya kesejahteraan bagi seluruh elemen bangsa.

Berdasarkan pemaparannya, Duta Besar (Dubes) Kazakhstan, Fadjroel Rachman menjelaskan bahwa praktik demokrasi di Kazakhstan memiliki cukup persamaan dengan Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan tiga hal, yakni perubahan konstitusi yang demokratis, kehadiran lembaga-lembaga demokrasi dan terciptanya budaya demokrasi.

Dari perubahan konstitusi menurutnya, Kazakhstan sudah melakukan amandemen UUD yang mengatur pembatasan kekuasaan menjadi satu periode dan berlangsung selama tujuh tahun. Diketahui, Negara yang baru merdeka tahun 1991 ini, harus mengakhiri cengkeraman 30 tahun kepemimpinan dari pendiri bangsa, Nursultan Nazarbayev melalui jalan referendum.

Terkait kelembagaan demokrasi, Fadjroel menilai, Indonesia berjalan jauh cukup baik. Paska runtuhnya rezim otoriter ORBA, demokrasi Indonesia mengalami kebangkitan. Ditandai dengan lahirnya berbagai lembaga negara independen atau state auxiliary agency yang keberadaannya bersifat publik. Demikian juga di Kazakhstan, proses melahirkan lembaga-lembaga ini juga terus diupayakan. 

Sementara itu, berkaitan dengan budaya demokrasi, Dubes Kazakhstan tersebut menegaskan akan pentingnya kepatuhan terhadap regulasi dan hukum.

“Saya berharap diskusi ini, menjadi komitmen kita bersama untuk menjaga master peace regulasi demokrasi kita, yaitu Presiden hanya boleh dua periode. Dan itu anda pertahankan mati-matian. Saya berharap PMKRI berada di garis depan untuk masalah ini,”tutur Fadjroel.

Hal senada juga disampaikan politisi PDIP, Budiman Sudjatmiko. Menurutnya wacana penundaan pemilu sangat menghianati cita-cita demokrasi.

“Dalam demokrasi itu ada keteraturan, ada periodisasi. Kita tidak ingin hasil-hasil dari reformasi yang sudah diperjuangkan bersama-sama menjadi hilang karena ada pihak-pihak yang perhitungan politik dengan elitis saja dan mengorbankan demokrasi,”ungkap Budiman.

Demikian juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif PARA Syndicate, Ari Nurcahyo dan Direktur Politician Academi, Bonggas Adhi Chandra. Keduanya menyepakati bahwa perpanjangan masa jabatan presiden yang berujung pada penundaan pemilu harus ditolak. Menurut mereka, lembaga penyelenggara pemilu dan masyarakat Indonesia sudah siap untuk menggelar pemilu. Mereka mengingatkan, yang penting dikoreksi adalah bagaimana pemilu itu berjalan secara akuntabel, transparan dan berdaulat rakyat. 

Demokrasi yang Berdaulat Rakyat

Diskusi arus utama terkait semua hiruk-pikuk demokrasi yang sedang berlangsung hanya terkunci pada diskursus demokrasi elektoral, yaitu pemilu. Pemilu hanya menyuguhkan pembicaraan seputar spekulasi arah koalisi, calon yang akan dipilih setiap koalisi, potensi konflik internal partai politik, elektabilitas setiap figur potensial.

Sebagian besar menganggap semua hal tersebut sebagai normalitas dalam politik elektoral tanpa secara kritis mendalami, sesungguhnya demokrasi seperti apa yang sedang kita jalani? Sejauh mana semua ini justru berdampak buruk bagi segala upaya kita mendorong demokrasi yang berkedaulatan rakyat?

Peneliti PolGov UGM, Ignatius Juru menilai bahwa hal tersebut ditandai oleh tidak hadirnya model politik yang tunduk pada nalar tunggal, tetapi menjadi ruang bagi beragam artikulasi dan gerak bebas dari pelbagai kelompok politik. Namun ruang tersebut menurutnya dikuasai oleh oligarki, oleh peran sentral para konsultan politik, ahli media, dan para buzzer politik. 

Menurutnya, demokrasi yang berkedaulatan rakyat, hanya bisa dilakukan jika mengaktifkan publik sebagai subyek aktif dalam segala proses politik dan mengonversinya sebagai audiens aktif.

Hariz Azhar juga menegaskan hal yang sama. Menurutnya demokrasi semakin lesuh akibat kemewahan kebebasan sipil yang mulai dikroposi. Jika terus dikroposi harapan terjamin hak asasi manusia akan susah terjadi. 

Ia menambahkan, problem struktural seperti kemiskinan, kesenjangan, dan ketidakadilan memang masih menjadi beban negeri ini. Karena itu, harus ditempuh dengan  memperkuat komitmen politik yang mengedepankan keadilan, pemerataan, dan kesejahteraan yang perlu ditunjukkan secara nyata sehingga demokrasi itu betul-betul berdaulat rakyat.  

Sementara itu, Lucius Karus, Peneliti Formappi menegaskan bahwa krisis demokrasi yang terjadi tidak terlepas dari melemahnya kinerja anggota DPR RI sepanjang tahun 2022. Kinerja DPR RI cenderung melemah dan semakin memburuk. Menurutnya, memburuknya kinerja DPR RI ini akan berdampak langsung pada merosotnya demokrasi di Indonesia. 

RELATED ARTICLES

Most Popular