Ket: Yuventus Prima Yoris Kago selaku Ketua Presidium PP PMKRI periode 2018-2020 sedang membacakan narasi Kita Indonesia sebagai gerakan moral PMKRI selama 2 tahun |
71 tahun ber-PMKRI,
adalah kesadaran yang kita sadari sepenuhnya. Arti penting kehadirannya baik
itu bagi gereja juga tanah air bagi kita yang singgah untuk tumbuh dan ditempa
di sana menjadi sebuah kisah perjalanan intelektual dan integritas pribadi.
Dalam pidatonya,
ketua PP PMKRI, Juventus Prima Yoris Kago, “Warisan perjuangan dalam menelusuri
perjalanan PMKRI hingga kini, kami melihatnya dalam tiga fase perubahan.
Pertama, Reformasi. Situasi dimana orang melihat sebuah sistem harus berubah
karena segala sesuatu dibungkam, dan dikondisikan oleh otoritas.
Namun satu hal yang lupa adalah sumber daya manusia masih tetap orang yang sama. Kedua, Revolusi. Tata kelolah sebuah sistem masih dipertahankan, namun sumber daya manusia harus berubah.
Sistemnya tetap tapi orangnya dituntut untuk berubah dari cara kerja lama ke cara kerja baru. Soal revolusi ini kita diingatkan pada momen ketika seorang Jokowi dalam masa kampanyenya, menggagas dengan sangat bagus soal ‘’revolusi mental.’’
Namun satu hal yang lupa adalah sumber daya manusia masih tetap orang yang sama. Kedua, Revolusi. Tata kelolah sebuah sistem masih dipertahankan, namun sumber daya manusia harus berubah.
Sistemnya tetap tapi orangnya dituntut untuk berubah dari cara kerja lama ke cara kerja baru. Soal revolusi ini kita diingatkan pada momen ketika seorang Jokowi dalam masa kampanyenya, menggagas dengan sangat bagus soal ‘’revolusi mental.’’
Lanjutnya,
suatu langkah besar dalam sejarah politik bangsa Indonesia. Namun, Jokowi bersama pemerintahan lupa kalau Revolusi Mental itu artinya konsen pada
pembangunan manusia. Kita lihat hari ini, faktanya beliau justru lebih konsen
pada pembangunan infrastruktur. Ketiga, Transformasi.
Situasi di mana perubahan menuntut berubahnya sebuah system sekaligus sumber daya manusianya. Soal ini, hari-hari ini banyak dibicarakan, bahkan tantangan terbesar bersamaan dengan ini adalah revolusi industry 4,0.
Dalam
politik di sana ada megalomania, di sini hipokrasi. Di sana ada representasi,
di sini ada manipulasi. Kekuasaan tanpa kuasa. Krisis reperesentasi membuat
kekuasaan beralih dari strukturalis ke populisme. Sementara gerakan populisme
dalam politik hari ini selalu membawa gelagat destruktif bagi persatuan bangsa
kita.
Di pedesaan masyarakat beramai kerjasama, sementara di metropolitan orang sibuk saling serang. Polarisasi identitas bertaburan dimana-mana ketika kontestasi politik menjelang. Itulah demokrasi kita hari ini.
Situasi di mana perubahan menuntut berubahnya sebuah system sekaligus sumber daya manusianya. Soal ini, hari-hari ini banyak dibicarakan, bahkan tantangan terbesar bersamaan dengan ini adalah revolusi industry 4,0.
Foto bersama kelompok Cipayung |
Di pedesaan masyarakat beramai kerjasama, sementara di metropolitan orang sibuk saling serang. Polarisasi identitas bertaburan dimana-mana ketika kontestasi politik menjelang. Itulah demokrasi kita hari ini.
Seperti
isu yang sedang dibicarakan banyak orang hari-hari ini yakni RUU Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme dan Perppu. Dalam hal ini, kami sangat mengapresiasi
kinerja DPR dan pemerintah yang berhasil mengesahkan UU tersebut.
Dalam
ekonomi, tatanan ekonomi kita lebih fokus pada mekanisme pasar, sementara kita
tidak punya konsep dan gagasan ekonomi yang jelas, yang ujungnya gampang
terombang ambing oleh mekanisme pasar. Logika pasar akhirnya melumpuhkan logika
sosial warga bangsa.
Dalam agama, ada gejala dunia tafsir yang beralih dari ortodoksi ke heterodoksi. Akal sehat dan nalar dalam beragama dibungkam oleh tafsiran sesat dan dangkal. Identitas beragama yang kuat dalam bingkai doktrin tertentu justru membuat moralitas publik jadi rapuh. Karena agama sebagai tameng pembenaran atas berbagai tindakan destruktif.
Dalam agama, ada gejala dunia tafsir yang beralih dari ortodoksi ke heterodoksi. Akal sehat dan nalar dalam beragama dibungkam oleh tafsiran sesat dan dangkal. Identitas beragama yang kuat dalam bingkai doktrin tertentu justru membuat moralitas publik jadi rapuh. Karena agama sebagai tameng pembenaran atas berbagai tindakan destruktif.
Sementara
romo Paulus Christian Siswantoko, mengatakan kehadiran PMKRI menjadi wadah serta
jembatan untuk meneruskan suara Gereja. Apa yang menjadi suara Gereja itulah
suara PMKRI. Konteks inilah yang tampak dalam seruan, “Pro Ecclesia Et Patria:
untuk gereja dan tanah air.”
PMKRI harus menjadi wahana intelektual dan pembinaan karakter individu demi masa depan yang lebih baik. Dalam kotbahnya, beliau mengatakan tanggal kelahiran PMKRI itu dipilih bertepatan dengan hari Pentekosta. Pesannya dalam konteks ini, saya rasa kita memahaminya.
PMKRI harus menjadi wahana intelektual dan pembinaan karakter individu demi masa depan yang lebih baik. Dalam kotbahnya, beliau mengatakan tanggal kelahiran PMKRI itu dipilih bertepatan dengan hari Pentekosta. Pesannya dalam konteks ini, saya rasa kita memahaminya.
"Namun pada
sisi lain, apa yang menjadi suara PMKRI belum tentu suara Gereja. Ini demi
menjaga independensi PMKRI", tutur Sekretaris Komisi Kerawam KWI tersebut.
Muliawan
Margadana yang mewakili Depertim dalam kesempatan yang sama, “kita patut
bersyukur atas usia yang ke-71. Saya meyakini bahwa perjalanan panjang ini
karena kita punya integritas dan independensi.
Begitu banyak godaan, ajakan, dan mungkin sogokan yang datang, namun kita tetap solid dengan nilai-nilai yang kita yakini bersama. Kita semua sadari itu hingga bisa bersama berkumpul dan merayakannya hari ini.
Di usia 71
tahun PMKRI ini, tantangan terbesarnya adalah kita hidup diera komunitas aktual
versus komunitas virtual. Karena komunikasi sosial terasing dan realitas. Dunia
maya gampang menipu, bahkan pada titik tertentu menjadi instrumen untuk doktrin
ideologi. Konteks inilah yang menjadi refleksi bagi PMKRI untuk merumuskan
gagasan, isu dan gerakan dua tahun kedepan.
Begitu banyak godaan, ajakan, dan mungkin sogokan yang datang, namun kita tetap solid dengan nilai-nilai yang kita yakini bersama. Kita semua sadari itu hingga bisa bersama berkumpul dan merayakannya hari ini.
Sebab, para
pendiri bangsa ini menyiratkan pesan sejarah kepada kita bahwa kemerdekaan itu soal siasat intelektual. Soal
strategi berbahasa. Politikus dan para pejuang menelusuri proses perjuangan melalui satu bingkai
intelektual dan kesimpulan yang sama, yaitu
kemerdekaan adalah tindakan pedagogis.
‘’Simpulnya
dalam konteks ini sangat jelas dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika, tentang kita
Indonesia. Karena setiap orang boleh silih berganti datang dan pergi, namun ada
yang harus tetap tinggal dan hidup sebagai ingatan sosial kolektif.
Sebab, bangsa ini didirikan diatas beragam identitas, yang tampil apik dari Barat hingga Timur, terlukis indah dari Utara hingga Selatan, berderet makna dari Sabang sampai Mearuke, dan bertabur warna dari Miangas hingga Rote.’’
Sebab, bangsa ini didirikan diatas beragam identitas, yang tampil apik dari Barat hingga Timur, terlukis indah dari Utara hingga Selatan, berderet makna dari Sabang sampai Mearuke, dan bertabur warna dari Miangas hingga Rote.’’
Begitulah
kutipan narasi #Kita_Indonesia yang menjadi seruan moral dalam gerakan PMKRI
dua tahun kedepan yang ditanda tangani oleh kelompok cipayung dan ormas lainnya,
alumni PMKRI, dan beberapa tokoh yang hadir. (y/s)
KOMENTAR