Konflik Antara Aparat dan Masyarakat Adat Terjadi Lagi, PMKRI: Bentuk Arogansi Pemerintah

Jakarta, Verbivora.com – Konflik antara masyarakat adat dan aparat setempat kembali terjadi. Kali ini di Kecamatan Asesa Selatan, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Menurut Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI), hal tersebut bisa terulang karena sikap arogansi pemerintah yang tidak memperhatikan aspirasi masyarakat adat.

Adapun konflik ini terjadi pada Rabu (22/9/2021). Dimana akar dari permasalahan ini yakni, penolakan masyararakat adat Ebudai terkait rencana pembangunan Waduk Lambo.

PP PMKRI juga mengecam tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat setempat yang terkesan memaksakan pembangunan tanpa memperhatikan perlindungan dan masa depan masyarakat adat Ebudai, di Boazea, Desa Labolewa, Nagekeo, NTT.

Presidium Gerakan Kemasyarakatan  PP PMKRI, Alboin Samosir mengatakan, “proyek pembangunan Waduk Lambo ini merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) hal ini tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 109 tahun 2020 perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 3 tahun 2006. Maka, wajib hukumnya pemerintah pusat mengetahui dan memperhatikan masalah ini,” katanya.

Baca juga: Bertemu Tim 11 Tutup TPL, PMKRI Dukung Tuntutan Tim 11 Tutup TPL

Alboin juga menuturkan, “pembangunan waduk yang dilakukan oleh pemerintah tanpa memperhatikan aspirasi dari masyarakat adat, merupakan tindakan arogan yang telah mengangkangi hak asasi masyarakat adat yang berhak mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari negara,” terangnya.

Ia juga menyampaikan, kehadiran masyarakat adat selama ini masih saja dianggap batu sandungan dalam pembangunan sehingga sering sekali pemerintah abai dan lalai terhadap keberadaan mereka, yang sesungguhnya secara eksistensi mereka telah mewarisi semangat dari berdirinya negara ini. 

“Pembangunan waduk yang menelan biaya 1,4 trliun ini harusnya lebih memparhatikan masa depan masyarakat adat, sebab jika pembangunan ini tetap dipaksakan oleh pemerintah, maka masyarakat adat Edubai akan kehilangan tanah leluhurnya, tanah tempat mereka menggantungkan hidup dan tumbuh, serta tatanan spritual yang sudah lama terbangun,” tuturnya. 

Baca juga: Merespon Konflik Tenurial Masyarakat Adat Dayak, PMKRI: Segera Sahkan UU Masyarakat Adat

Alboin juga mengingatkan, sesuai dengan ungkapan warga yang tidak menolak pembangunan waduk, namun harus memperhatikan lokasi pembangunan karena akan mengancam keberadaan mereka, oleh karena itu, pemerintah perlu hadir untuk berdialog dengan masyarakat adat setempat untuk menemukan win-win solution.

“Sampai ditemukan lokasi yang sesuai dengan harapan masyarakat adat, pemerintah diharapkan tidak melanjutkan pembangunan tersebut, sebab akan melahirkan konflik-konflik baru. Perlu tindakan arif dan bijaksana dari pemerintah dalam pembangunan waduk ini, jangan sampai pembangunan waduk yang harusnya untuk kesejahteraan warga justru menjadi bom waktu yang akan mengancam kehidupan mereka,” tegasnya. 

“Tindakan arif dan bijaksana juga penting diingat oleh aparat keamanan yang sering sekali menampilkan wajah arogan yang mengandung unsur premanisme dalam menghadapi penolakan warga. Sikap ini tentu saja menjadi tambahan catatan buruk yang ditunjukkan oleh aparat yang seharusnya hadir mengayomi dan melindungi warga, dalam hal ini masyarakat adat Nagakeo, NTT,” tutup Alboin.*(AR)

Konflik Antara Aparat dan Masyarakat Adat Terjadi Lagi, PMKRI: Bentuk Arogansi Pemerintah
Presidium Gerakan Kemasyarakatan Pengurus Pusat PMKRI, Alboin Samosir.

RELATED ARTICLES

Most Popular