Membaca Upaya Pemulihan Ekonomi di Balik UU HPP

Jakarta, Verbivora.com – Belum berakhirnya pandemi Covid-19 sangat berdampak besar pada perekonomian nasional. Salah satunya adalah berkurangnya pendapatan negara dari sektor perpajakan. Berdasarkan data realisasi APBN, penerimaan pajak memiliki kontribusi yang paling tinggi terhadap pendapatan negara dari pada sumber pendapatan negara lainnya. 

Menurut data APBN Kementerian Keuangan pada tahun 2020 penerimaan negara turun menjadi Rp. 1.699,9 triliun dan sektor pajak memberi kontribusi sebesar 82,62 persen. Sedangkan pada tahun 2019 penerimaan negara dari pajak memberikan kontribusi sebesar 80,91 persen dari total penerimaan negara sebesar Rp. 2.030,8 triliun. 

Dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI ke-7 masa persidangan I Tahun Sidang 2021-2022 Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) disahkan menjadi Undang-Undang. UU HPP merupakan bagian dari rangkaian reformasi perpajakan yang menjadi salah satu ikhtiar bersama bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita Indonesia maju. 

UU HPP dan Pemulihan Ekonomi Nasional

Reformasi perpajakan ini selaras dengan upaya negara dalam mempercepat pemulihan ekonomi serta mendukung pembangunan nasional dalam jangka panjang melalui penataan ulang sistem perpajakan agar lebih kuat di tengah tantangan pandemi ini. Di samping itu, UU HPP bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak yang masih rendah, mengoptimalkan penerimaan negara, mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum, serta memperbaiki sistem perpajakan di Indonesia. 

Menteri Keuangan Republik Indonesa Sri Mulyani menyebut, UU HPP bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan serta secara cepat memulihkan kondisi perekonomian nasional. “Kita juga ingin melalui Undang-Undang ini mengoptimalkan penerimaan negara, mewujudkan sistem pajak yang berkeadilan dan memberikan kepastian hukum, serta melaksanakan reformasi administrasi, serta kebijakan perpajakan yang makin harmonis dan konsolidatif untuk memperluas juga basis perpajakan kita di era globalisasi dan teknologi digital yang begitu sangat mendominasi.”

Sementara itu, Kepala Departemen Ekonomi CSIS, Yose Rizal, mengemukakan pandangannya bahwa UU HPP tersebut memuat suatu agenda tersembunyi pemerintah untuk menagih kembali berbagai insentif dan bantuan fiskal yang diberikan kepada masyarakat selama masa pandemi. “Ada kemungkinan kenaikan PPN dan PPh bisa pengaruhi berbagai konsumsi dari tingkatan penghasilan karena konsumsi yang datang ini pendorong utama dari pemulihan ekonomi, jangan sampai ini semua hal yang kontraproduktif dalam pemulihan ekonomi, kalau kondisi yang belum dukung sebaiknya jangan dulu dilakukan,” kata Yose. 

UU HPP ini memuat 9 bab dan 19 pasal, diantaranya: berisi aturan tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Program Pengungkapan Sukarela (PPS), Pajak Karbon, serta cukai. Basis dari reformasi perpajakan yang ideal melalui UU HPP adalah aspek keadilan dan keberpihakan. 

Di sisi PPh, keadilan dan keberpihakan dilakukan dengan perubahan progresivitas PPh Orang Pribadi (OP) dengan melebarkan rentang penghasilan kena pajak yang semula Rp. 50 juta per tahun menjadi Rp. 60 juta per tahun untuk lapisan terendah dengan tarif 5 persen, serta menambah 1 lapisan tertinggi dengan tarif 35 persen untuk penghasilan kena pajak di atas Rp. 5 miliar per tahun. 

Di sisi lain, untuk Wajib Pajak OP UMKM yang selama ini membayar PPh dengan tarif final 0,5 persen sesuai dengan PP 23 Tahun 2018, diberikan insentif berupa batasan peredaran bruto tidak dikenai pajak atas peredaran bruto hingga Rp. 500 juta per tahun. 

Dengan mempertimbangkan daya beli dan pemulihan ekonomi, UU HPP ini menetapkan kenaikan tarif PPN secara bertahap yaitu 11 persen yang mulai berlaku pada 1 April 2022 dan 12 persen yang berlaku paling lambat 1 Januari 2025. Sementara keadilan dan keberpihakan pada sisi PPN dilakukan dengan melindungi masyarakat kecil melalui pembebasan PPN terhadap barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, dan layanan sosial.  

Sebagai bagian dari strategi reformasi administrasi perpajakan, UU HPP juga akan mendorong peningkatan kepatuhan sukarela dengan memperkuat sistem administrasi pengawasan dan pemungutan perpajakan, serta memberikan kepastian hukum perpajakan. 

Hal ini dilakukan melalui penggunaan Nomor Induk KTP (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak Orang Pribadi (NPWP OP) yang merupakan langkah strategis pemerintah dalam melakukan reformasi basis data kependudukan yang terintegrasi dan terpadu, penyesuaian persyaratan bagi kuasa Wajib Pajak, penunjukan pihak lain sebagai pemotong/pemungut pajak, meningkatkan kerja sama penagihan pajak antarnegara, dan pengaturan pelaksanaan persetujuan bersama. 

Dengan diberlakukannya UU HPP ini, harapannya tentu dapat membantu pemulihan ekonomi Indonesia di tengah situasi pandemi yang belum diketahui kapan berakhirnya. Di samping itu juga perlu adanya sosialisasi dan simulasi kepada masyarakat guna menjelaskan secara rinci terkait implementasi UU tersebut supaya tidak terjadi kesalahpahaman dalam implementasi UU HPP tersebut. 

Tentunya kita berharap agar dengan disahkannya UU HPP ini perekonomian nasional kita akan semakin membaik, UMKM kita akan semakin kuat. Saya sendiri melihat melalui UU HPP ini adalah upaya dari pemerintah untuk memperkuat sektor UMKM sedemikian sehingga pada gilirannya nanti kita akan bangkit dari kondisi pandemi Covid-19. 

Margareta L.Y. Domaking (Bendahara Umum PP PMKRI/Mahasiswa Magister Akuntasi Universitas Trisakti).

Membaca Upaya Pemulihan Ekonomi di Balik UU HPP
Margareta L.Y. Domaking (Bendahara Umum PP PMKRI/Mahasiswa Magister Akuntasi Universitas Trisakti).

RELATED ARTICLES

Most Popular