Otoritarianisme Agraria, Deforestasi dan Gastro Kolonialisme

Merauke, verbivora.com Food Estate adalah konsep pengembangan produksi pangan yang dilaksanakan secara terintegrasi dan terdiri atas pertanian, bahkan peternakan di lahan yang luas. Program ini diproyeksikan sebagai bagian dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Rencana tersebut sudah termuat dalam RPJMN 2014-2019.

Pada tahun 2020, Presiden Joko Widodo kembali menyampaikan wacana pembangunan food estate sebagai bentuk respon dari peringatan krisis pangan akibat pandemic COVID-19. Menurut kouta keuangan APBN tahun 2021, pemerintah menargetkan pengembangan proyek Food Estate di tiga provinsi yaitu Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Papua. Namun dalam Rencana Operasional Food Estate juga menyasar pada provinsi lainnya. Program Food Estate menjadi polemik dalam masyarakat, pasalnya program tersebut pernah diluncurkan. Hasilnya justru gagal dan  berdampak buruk bagi masyarakat adat. Bisa dikatakan program tersebut adalah bagian dari merencanakan ulang kegagalan.

Peraturan Presiden Nomor 108 Tahun 2022 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2023 menyebutkan Program Food Estate menjadi proyek prioritas strategis dan Merauke, Papua Selatan menjadi salah satu lokasinya. Food Estate mengingatkan kita pada tahun 2007, Pemerintah Kabupaten Merauke melalui Bupati Drs. Johanes Gluba Gebze mewacanakan tahun investasi.

Ketika itu Merauke dijadikan lumbung beras untuk memenuhi kebutuhan beras di Wilayah Papua dengan istilah MIRE (Merauke Integrated Rices Estate). Tahun 2010 Pemerintahan Presiden SBY melalui Kementerian Pertanian melakukan launcing Mega Proyek MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) di Dusun Sirapuh Distrik Semangga Kabupaten Merauke. Sehingga bisa dikatakan Mega Proyek ini merupakan cikal bakal dari program Daerah Kabupaten Merauke sebelumnya yakni MIRE (Merauke Integrated Rice Estate).

Pada tahun 2015 dalam kunjungan kerja, Presiden Joko Widodo pada kunjungan kerjanya menyampaikan bahwa Merauke akan dijadikan sebagai lumbung pangan nasional dengan target lahan seluas 1,2 juta hektare. Pernyataan ini sangat mengejutkan karena total luas lahan yang akan dibuka jumlahnya sangat luas. Pernyataan tersebut menimbulkan polemik dalam masyarakat hingga terjadinya pro dan kontra.

Otoritarianisme Agraria

Penolakan terjadi khususnya bagi masyarakat adat pemilik hak ulayat yang menjadi target perusahan. Mereka merasa trauma dengan kehadiran investor yang sudah beroperasi dan tidak memberikan dampak positif bagi pembangunan masyarakat lokal. Bahkan mereka hanya menjadi penonton dan tidak bisa bersaing. Apalagi secara radikal mereka harus berproses menjadi petani modern dengan pola mekanis.

Sejak disadari bahwa agraria memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan sangat berharga, dari zaman ke zaman agraria telah menjadi sumber sengketa yang seringkali berujung pada konflik.Baskara T. Wardaya dalam bukunya yang berjudul “Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia,” mendefenisikan istilah agraria biasanya disamakan dengan pengertian sumber daya alam, termasuk ruang publik dalam skala luas maupun daya-daya alam yang ada di dalamnya, serta seluruh komoditi yang dihasilkannya.

Otoritarianisme penguasaan dan pengelolaan agraria menjadi mungkin antara lain karena hadirnya konsep “tanah milik negara.”Konsep tersebut memungkinkan penguasa untuk dengan mudah menguasai, mengatur, mengelola, memanfaatkan serta mendistribusikan tanah yang akan dikuasai oleh pihak lain sesuai kehendak mereka. Melalui konsep ini pula penguasa memililki legitimasi untuk mengambil alih tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat.

Merujuk pada program MIFEE yang merupakan istilah populer dari kegiatan usaha budidaya tanaman skala luas (>25 ha) meliputi bidang pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan dan kehutanan yang dilakukan dengan konsep pertanian sebagai sistem industrial yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), modal, serta organisasi dan manajemen modern.

Konsep ini didukung dengan suatu sistem agribisnis dengan memanfaatkan sumber daya secara optimal dan lestari, dikelola secara profesional, didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas berbasis pemberdayaan masyarakat adat/lokal, teknologi tepat guna yang berwawasan lingkungan. Konsekuensi dari mega proyek ini adalah melibatkan pihak ketiga dalam hal ini investor.

Badan Perencanaan Investasi Daerah (Bapinda) Merauke, mencatat 46 perusahaan telah mendapat izin usaha pada bidang pertanian dan perkebunan untuk berinvestasi di Kabupaten Merauke. Sebanyak 6 perusahaan yang sudah yakni PT Dongin Prabhawa (Korindo Group), (2) PT Bio Inti Agrindo (Korindo Group), (3) PT Central Cipta Murdaya (CCM), (4) PT Agriprima Cipta Persada, (5) PT Hardaya Sawit Papua dan (6) PT Berkat Cipta Abadi. Keenam perusahaan ini telah beroperasi di kawasan Malind Bian (sumber: Majalah Tempo).

Dalam perjalanannya, Proyek MIFEE mengingatkan kita mengenai mega proyek yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia pada tahun 1870. Pemerintah menguasai tanah-tanah pertanian rakyat dan tanah ulayat untuk dirubah menjadi perkebunan-perkebunan besar yang berorientasi ekspor. Demikian juga dengan sistem culturstelsel atau tanam paksa yang dijalankan demi mengejar perolehan devisa negara kolonial telah menghancurkan sistem dan tradisi pertanian rakyat serta merusak sistem ulayat yang telah hidup ratusan tahun. Kemiskinan dan kelaparan terjadi di pedesaan sehingga memicu protes dan perlawanan masyarakat.

Klaim hutan Negara dengan sendirinya berarti klaim Negara terhadap tanah dimana hutan itu tumbuh memudahkan penguasa untuk merampas dan memberikan hak kepada pengusaha-pengusaha swasta untuk menanamkan modal di bidang usaha kehutanan, pertambangan dan perkebunan yang besar. Dengan klaim tersebut, penguasa tidak lagi merasa perlu mempertimbangkan hak-hak masyarakat adat atas tanah dan hutan.

Melalui konsep tanah milik negara dan tanah untuk kepentingan umum telah terjadi kasus-kasus perampasan tanah yang bersifat massif. Persoalan ini terjadi baik di pedesaan maupun di perkotaan. Sementara itu, untuk mengatasi berbagai perlawanan, pemerintah menggunakan stigma “anti pembangunan”, “anti pemerintah” kepada mereka yang menolak memberikan lahannya.

Alat-alat kekerasan(militer dan polisi) didayagunakan untuk memuluskan jalannya perampasan tanah dan hutan masyarakat adat. Dalam kenyataannya, kasus-kasus perampasan tersebut mempunyai pola umum, antara lain: tidak diakuinya bukti-bukti hak kaum tani atas tanah, penetapan ganti rugi secara sepihak, manipulasi tanda tangan masyarakat, tuduhan sebagai pembangkang, pengacau atau anti –pembangunan, manipulasi makna agar masyarakat menyerahkan tanahnya, dan menghambat laporan masyarakat mengenai tindak pidana.

Philip McMichael dalam bukunya yang berjudul “Rezim Pangan dan Masalah Agraria” mengkategorikan Food Estate sebagai salah satu bentuk penguasaan lahan yang bersifat liberal dan kapitalistik. Artinya dapat kita pahami bahwa program ini akan membuka keran seluas-luasnya kepada para pemodal untuk datang menguasai lahan-lahan pertanian yang ada di Indonesia termasuk mengekspansi hutan yang hari ini sudah diizinkan oleh Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Artinya program ini turut melestarikan perampasan lahan.

Deforestasi

Hutan memiliki peran yang sangat penting dalam krisis iklim. Hutan sebagai penampung karbon dioksida, modulator arus hidrologika dan sebagai pelestari tanah merupakan fungsi hutan yang cukup penting bagi kehidupan. Hutan bisa bertindak sebagai penyumbang, sekaligus penyerap emisi gas rumah kaca. Kontribusi hutan dalam perubahan iklim telah dibahas dalam laporan Panel Antar pemerintah mengenai Perubahan Iklim (IPCC) sejak tahun 2001.

Laporan yang dikenal dengan Third Assesment Report (TAR) itu menyebutkan, perubahan tata guna lahan sejak dekade 1980-an hingga saat itu penyumbang seperempat lebih emisi global. Penyumbang terbesar dari perubahan tata guna lahan itu adalah deforestasi. Laporan itu juga menyatakan, sejak tahun 1850 diperkirakan hutan hilang sebesar 20 persen yang menyumbang 90 persen emisi karbon. Laporan ini menginisiasi lahirnya “Marrakesh Accor” dalam COP 7 tahun 2001 di Maroko, yang memasukkan hutan dalam strategi mitigasi perubahan iklim.

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim dan Persetujuan Paris, yang diantaranya mewajibkan negara mengambil upaya-upaya pencegahan untuk mengantisipasi, mencegah atau meminimalisir penyebab perubahan iklim dan mitigasi dampak buruk yang dihasilkannya dan menurunkan emisi Gas Rumah Kaca.

Salah satu penyebab utama dari pemanasan global adalah deforestasi. Deforestasi adalah kegiatan membuka area hutan menjadi lahan non hutan secara permanen untuk aktivitas manusia. Deforestasi di wilayah Papua sangat pesat perkembangannya. Secara umum, luas hutan alam di bagian Selatan Papua telah banyak dibuka dan dibongkar untuk perkebunan kelapa sawit yang dimulai dari Merauke (Bupul, distrik Muting) serta sebagiannya di Boven Digoel (Asiki dan sekitarnya).

Penyebab deforestasi antara lain karena konversi kawasan hutan terutama untuk kepentingan Program Strategis Nasional (PSN), Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) serta kegiatan ketahanan pangan. Kawasan hutan konservasi dan hutan lindung di Indonesia saat ini dalam keadaan terancam. Tingkat keseriusan pemerintah dalam hal ini menjadi pertanyaan karena masih saja ada kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada  perlindungan dan keberlanjutan ekosistem alam termasuk lahan gambut.

Kawasan hutan yang dialihfungsikan menjadi areal proyek Food Estate di Papua Selatan dengan luas lahan mencapai 2.038.951,09 hektar, selain berfungsi sebagai sumber kehidupan bagi rakyat lokal juga menjadi sumber penyimpanan air. Penebangan hutan yang terjadi mengakibatkan hilangnya atau keringnya sumber-sumber air bagi keperluan hidup masyarakat sehari-hari. Kehadiran proyek ini akan berdampak negatif bagi masyarakat setempat, seperti yang telah dialami melalui program MIFEE sebelumnya.

Di Kampung Boepe, Distrik Kaptel, Kabupaten Merauke, masyarakat pribumi sudah mulai kesulitan mendapatkan kayu bakar, binatang buruan, air bersih, dan makanan pokok mereka yaitu sagu. Hal ini karena PT Medco Papua Industri Lestari, salah satu anak perusahaan Medco Group ini sudah membabat habis hutan dan sumber-sumber makanan pokok masyarakat setempat. Selain itu limbah hasil pengolahan kayu dibuang di sungai sehingga mencemari sumber air satu-satunya di Kampung Boepe. Perusahaan ini dapat bertindak leluasa karena merasa sudah mengantongi izin dari Kementrian Kehutanan masuk ke Merauke untuk pengolahan “Wood Chips” kapasitas 2 juta meter kubik senilai Rp. 409,5 miliar

Wilayah Papua kini menjadi pundi-pundi emas bagi pemerintah Indonesia dan investor asing untuk mengeruk keuntungan atas kekayaan sumber daya alam. Hal ini bisa dilihat dari realisasi penanaman modal asing di Wilayah Papua yang mencapai 112% dengan nilai 5 milyar US dollar pada tahun 2008. Bahkan nilai investasi di sektor pertambangan mencapai 12,7% lebih tinggi dibandingkan sektor pertambangan nasional.

Di luar pertambangan, masih banyak lagi potensi yang belum tergarap seperti, perkebunan, pertanian, perikanan dan pariwisata yang saat ini sedang dilirik para investor baik asing maupun dalam negeri.

Kita ketahui bahwa makanan pokok rakyat Papua adalah sagu yang diperoleh dari hutan sagu. Kini hutan-hutan tersebut dibongkar dan digantikan dengan tanaman pangan industri seperti padi, jagung, sawit, dan tanaman yang berorientasi ekspor. Pemerintah berambisi mengejar perolehan devisa dari tanaman ekspor tersebut namun membiarkan rakyat Papua berada dalam ancaman kelaparan dan kehilangan sumber bahan makanan pokoknya.

Dalam berbagai media massa dipublikasikan tentang krisis pangan di sebagian wilayah Papua, namun pemerintah bukannya mencari  solusi yang konstruktif, sebaliknya menjerumuskan rakyat Papua ke dalam krisis pangan berkepanjangan. Dengan rusaknya ekosistem karena alih fungsi hutan menjadi perkebunan maka persoalan akan semakin melebar dan lebih kompleks, tidak hanya soal krisis pangan tapi juga konflik sosial.

Diketahui bahwa Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) telah menetapkan keputusan Nomor SK.168/MENLHK/PKTL/PLA.1/2/2022 tentang Rencana Operasi Indonesia’s Forest and Other Land Use Net Carbon Sink (FOLU Net Sink) 2030 untuk pengendalian perubahan iklim, yang diantaranya mempunyai sasaran untuk mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan. Diharapkan keputusan ini bukan sekadar kertas namun dapat dijalankan dengan baik.

Gastro kolonialisme

Pembangunan lumbung pangan dengan membuka area hutan di Merauke, Papua Selatan memicu pergeseran pola pangan yang dialami masyarakat adat setempat yang menyebabkan masalah gizi dan kesehatan. Kita ketahui bahwa sebelumnya masyarakat adat setempat mengonsumsi makanan tradisional yang bisa diambil dari hutan, seperti umbi-umbian, sagu, dan daging dari hewan buruan.

Berdasarkan survei kuantitatif yang dilakukan oleh tim Kompas di empat kampong yaitu Zanegi, Baad, Bokem, dan Wonorejo. Kampung Zanegi dan Baad dihuni oleh masyarakat Marind. Dari ke empat kampung tersebut, Kampung Zanegi memiliki kerentanan pangan paling tinggi, karena ketersediaan pangan di alam yang telah berkurang, karena sebagian hutan mereka telah dikonversi menjadi HTI.

Kebijakan nasional cenderung menggeserkan pangan lokal di Merauke dengan menjadikan beras sebagai indikator kesejahteraan nasional. Ditambah dengan kehadiran Perusahaan dengan konsesi lahan besar membuat masyarakat lokal kehilangan akses terhadap sumber pangan terpenting, yakni protein hewani yang berasal dari hutan. Hal ini memicu gejala untuk mengonsumsi nasi kosong dan mie instan di perkampungan lokal hingga menyebabkan buruknya kondisi kesehatan gizi masyarakat.

Pergeseran pola pangan yang disebabkan oleh pembabatan hutan skala besar yang sebelumnya menjadi ruang hidup bagi masyarakat lokal merupakan bentuk penjajahan pangan (gastrocolonialism), sebagaimana diungkapkan Shopie Chao, Antropolog dan Sejarawan dari Universitas Sydney dalam laporan studinya tentang Merauke di The International Journal of Human Rights pada tahun 2021.

Istilah gastro kolonialisme awalnya dipakai oleh Craig Santos Perez, peneliti dari komunitas adat Chamoru di Kepulauan Pasifik-Guam, untuk menggambarkan erosi jalan pangan dan kesehatan masyarakat Hawaii yang dipicu oleh impor massal, dan meningkatnya ketergantungan masyarakat lokal pada komoditas olahan murah yang diproduksi oleh konglomerasi multinasional (Kenyon Review,2013).

Apa yang terjadi di Hawaii terjadi juga di Merauke. Papua yang sesungguhnya memiliki sumber pangan yang berlimpah dan bergizi seperti sagu, umbi-umbian, jenis sayur beragam, dan daging dari hewan buruan. Tapi semuanya berubah ketika hutan yang merupakan supermarket bagi orang Papua diubah ketika pendatang asing datang dan mengubah hutan Papua menjadi pertanian serta perkebunan skala besar. Dan apabila tidak dikelola baik, maka  Food Estate adalah salah satu ancaman untuk kehidupan orang Papua. Bagi penulis hal tersebut tak hanya menyebabkan kerentanan pangan, juga identitas kebudayaan pun bisa memudar dan bahkan sirna.

Berdasarkan latar permasalahan yang telah diungkapkan maka, ada beberapa rekomendasi yang ditawarkan penulis sebagai berikut:

1. Mendorong konsep ekonomi kerakyatan dengan memperkuat pemetaan ruang-ruang kehidupan rakyat dimulai dari kampung

2. Mempertegas para pengambil kebijakan untuk menjadikan kerja lapangan, mendengar, dan dialog langsung sebagai standar prosedur untuk menciptakan mekanisme teknokrasi yang berpihak dengan mengedepankan nilai demokratis

3. Memperkuat basis sumber pangan dan energy di tingkat kampung

4. Mengurangi rerantai pasok pangan dengan mengembangkan pangan lokal yang sehat dan berkeadilan

5. Pengembangan kualitas SDM masyarakat setempat

6. Pemerintah Pusat dan DPR RI perlu memperhatikan RUU Masyarakat adat.

Oleh : Mario Mere (Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cabang Merauke)

RELATED ARTICLES

Most Popular