PP PMKRI Gelar Diskusi Publik Terkait Isu Polemik Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah

Sumber foto : youtube PMKRI TV/ist

Jakarta, Verbivora.com – Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI) gelar diskusi publik bertajuk “Pengangkatan Penjabat kepala Daerah : Seperti Apakah Regulasinya?”. Diskusi tersebut diadakan secara daring dan diikuti sekitar 80-an lebih peserta diskusi dari berbagai eleman mahasiswa dan juga kader PMKRI seluruh Indonesia, Senin (14/11/2022). 

Untuk diketahui, hadir sebagai narasumber dalam diskusi yang dipandu oleh Balduinus Ventura, Ketua Lembaga Advokasi Hukum dan HAM PP PMKRI tersebut adalah Kasubdit Fasilitasi Kepala Daerah dan DPRD pada Ditjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri RI, Maria Ivonne Tarigan, DPR RI Komisi II (Fraksi PKS), Mardani Ali Sera, Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Udayana, Jimmy Z. Usfunan dan Presidium Gerakan Kemasyarakatan (GERMAS), Willybrodus Claudius Bhira. 

Diskusi publik yang dibuka oleh Presidium PPK PP PMKRI, Srilinus Lino yang mewakili Ketua Presidium PP PMKRI, Tri Natalia Urada menegaskan, dalam menyongsong pemilu serentak tahun 2024 sesuai dengan Undang-Undang Pemilu No.7 tahun 2017 tentang Pemilu dan UU No. 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Ada sekitar ratusan daerah yang bakal diisi oleh para penjabat kepala daerah baik Gubernur, Bupati maupun Walikota.

“Perlu ada sosialisasi karena sampai hari ini, publik belum memahami terkait regulasi pengangkatan kepala daerah yang bakal ditunjuk oleh pemerintah pusat. Selain alasan ketidakjelasan regulasi, publik juga belum mengetahui secara jelas terkait tugas dan kewengan seorang penjabat kepala daerah. PMKRI juga menyoroti terkait potensi militer, polisi dan Bin untuk mengisi jabatan itu.Sebab kalau ini diabaikan bisa mencederai nilai demokrasi,” tegas Srilinus

Oleh karena itu PP PMKRI berkepentingan, untuk membuka ruang diskusi agar dapat memberikan pencerahan dan pemahaman kepada publik terkait regulasi, mekanisme pengangkatan dan kewenangan para penjabat kepala daerah. 

“Selain itu, PMKRI menginginkan aspirasi rakyat, akademisi dan seluruh komponen masyarakat didengar oleh pemerintah pusat dalam hal ini Kemendagri sehingga nilai-nilai demokrasi tetap ditegakan,”sambungnya

Sebagai pembicara pertama dalam diskusi tersebut, Kasubdit Ditjen Otda Kemendagri, Maria Ivonne Tarigan dalam pemaparannya mengatakan, untuk mengisi kekosongan masa jabatan Kepala Daerah yang berakhir jabatannya tahun 2022 dan 2023 perlu adanya PJ Kepala Daerah tersebut sesuai amanat dari Undang-Udang No.10 Tahun 2016. 

“Kondisi apa sih yang menyebabkan akan ada penjabat di daerah tahun 2022 dan 2023. Pada Undang- Undang terkait Pilkada diatur didalam pasal 201 ayat 9,10,11 bahwa untuk mengisi kekosongan masa jabatan kepala daerah yang berakhir jabatannya tahun 2022, 2023 diangkat penjabat Gubernur, Bupati dan Walikota,” kata Maria Ivonne Tarigan. 

Lebih lanjut Ia menjelaskan untuk turunannya, PP No. 6 Tahun 2005 pasal 130 mengatur tentang syarat dan kriteria menjadi penjabat kepala daerah. Menurut Maria, untuk menjadi PJ Gubernur itu menduduki jabatan struktural, eselon 1 dengan pangkat golongan sekurang-kurangnya 4C. Kemudian eselon 2 untuk PJ Bupati/Walikota serta mempunyai rekam jejak atau penilaian selama 3 tahun sekurang-kurangnya dengan nilai baik. 

“Artinya, secara regulasi sudah diatur baik di UU. No. 10 Tahun 2016 dan PP No. 6 Tahun 2005 Pasal 132, bahwa dalam menjalankan tugas PJ Kepala Daerah bertanggungjawab terhadap Presiden melalui Kemendagri. Beberapa kali kami juga mengisi di forum-forum yang diadakan oleh partai politik, ini menjadi poling kami diawal. Ketika kepala daerah yang berdasarkan hasil pemilihan telah selesai, kepala daerah definitive yang berdasarkan hasil pemilihan telah selesai, siapa yang menjadi penanggung jawab akhir dari pemerintahan. Yang bertanggung jawab terakhir adalah Presiden,” jelasnya. 

Lebih lanjut Maria menjelaskan Oleh karena itu hak prerogatif Presiden untuk menunjuk PJ Kepala Daerah, sehingga pelaksanaan pemerintahan dan pelaksanaan pelayan publik tidak berhenti. Kewenangan dan hak prerogatif Presiden melalui Menteri Dalam Negeri sehingga dalam menjalankan tugasnya harus bertanggung jawab terhadap Presiden melalui Mendagri sebagai wakil pemerintah pusat.

Presidum Gerakan Kemasyarakatan PP PMKRI, Willybrodus Claudius Bhira menjelaskan beberapa hari terakhir melalui Lembaga Advokasi Hukum & HAM PP PMKRI ada beberapa hal yang dikaji terkait polemik PJ Kepala Daerah tersebut. PMKRI mendorong Kemendagri harus menerbitkan regulasi berupa Peraturan Pemerintah (PP) khusus pengakatan PJ. 

“Dalam melantik PJ Gubernur tentu itu kewenangan Presiden dan juga Kemendagri. Maka itu, PMKRI juga mendorong Mendagri untuk terbit PP. Melalui PP inilah sebagai regulasi yang bisa perintahkan Presiden untuk melantik PJ Kepala Daerah khususnya PJ Gubernur. Dia tidak bisa diperintahkan melalui Permendagri karena itu tidak etis secara level struktural,” tegas pria yang akrab disapa Billy tersebut. 

Lanjut Billy, PMKRI juga menyoroti mekanisme penunjukan PJ Kepala Daerah patut dipertanyakan dan kental  tendensi politiknya, pasalnya beberapa diantaranya tidak mempunyai pengalaman dalam pemerintahan sipil.

“PMKRI melihat dalam proses Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah belum ada mekanisme yang jelas. Misalnya, Pengangkatan PJ di beberapa daerah yang masa jabatannya akan berakhir pada 15 Mei 2022 lalu, antara lain: Dirjen Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi, dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin menjadi Pj Gubernur Kepulauan Bangka Belitung dan Deputi Bidang Pengelolaan Potensi Kawasan Perbatasan BNPP Kementerian Dalam Negeri Komjen (Purn) Paulus Waterpauw akan dilantik menjadi Pj Gubernur Papua Barat,” lanjutnya

Ia juga menambahkan, bagi kami pengangkatan PJ diatas patut dipertanyakan. Nah, untuk itu kami ingin bertanya apakah stok ASN di Kemendagri ini sangat terbatas, sehingga pengangkatan PJ ini dipilih dari beberapa pihak yang menurut kami tidak kompeten dalam bidangnya.

“Kami melihat, mekanisme sangat kontradiktif dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 15/PUU-XX/2022 dan ketentuan UU Nomor  5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang menggariskan jabatan struktural ASN yang dapat diisi Anggota TNI/Polri hanya berlaku di sepuluh Kementerian/Lembaga, tidak termasuk Pemerintah Daerah. Putusan MK sejatinya menjadi pedoman dasar bagi pemerintah dalam merumuskan aturan teknis pengisian Pj Kepala Daerah,” tegas Billy. 

Sebagai pembicara ketiga dalam diskusi tersebut, DPR RI Komisi II (Fraksi PKS), Mardani Ali Sera selain memberikan apresiasi kepada PMKRI yang menggagas isu besar ini, Ia juga menyoroti tata kelola pemerintahan termasuk kewenangan pemerintah pusat dan daerah serta dalam beberapa hari terakhir beberapa NGO juga mengangkat lagi terkait isu ini karena Mendagri belum membuat aturan yang menjadi payung dari regulasi yang ada.

“Pendapat saya memang harus ada perspektif yang sama terkait kasus PJ Kepala Daerah ini  karena ini kasus yang tidak biasa dan ini kasus luar biasa. Kalau dulu, PJ rata-rata tiga sampai enam bulan tapi sekarang bisa sampai tiga tahun. Wajar kalau teman-teman melihat mesti ada tata aturan main yang jelas untuk melindungi semua pihak, mulai dari pemerintah daerah dan yang paling utama adalah rakyat di daerah,” ujar politisi Partai PKS tersebut. 

Ia juga menambahkan, kita harus membongkar ulang konsep otonomi daerah. Peletakan otonomi daerah di daerah Kabupaten/Kota ada kecenderungan menghasilkan raja-raja kecil. Kalau seorang jadi bupati itu, luar biasa. 

“Nanti anaknya bisa maju DPR RI, Suaminya DPRD Provinsi, anaknya yang satu lagi bisa ke DPRD Kabupaten/Kota. Bahkan ada kasus, anaknya di Partai yang satu, suaminya di Partai yang lain, begitupun istrinya tapi jadi semua,” tuturnya. 

Demokrasi yang baik menurut Dia, mestinya tidak menghasilkan atau memperbesar politik dinasti. Walaupun menghilangkan politik dinasti itu susah. Otonomi Daerah agak kecenderungan begitu. 

Pembicara terakhir adalah Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Udayana, Jimmy Z. Usfunan. Ia menyampaikan dalam konteks konstitusi  Indonesia  diatur pada pasal 18 ayat (1) Negara Indonesia dibagi atas provinsi, provinsi dibagi atas Kabupaten dan Kota. Konsep dibagi atas berbeda dengan federal. Secara historis kita tidak memiliki Negara-Negara bagian sebelumnya berbeda dengan Amerika. Oleh karena itu, kedaulatan ada di Pusat kemudian membagi ke provinsi dan kemudian provinsi berbagi ke Kabupaten/Kota. 

“Konstruksi pasal 18 ayat (1) kemudian ditindaklanjuti oleh Otonomi Daerah  tidak bisa lepas dari konstruksi  pasal 1 ayat 1 UUD 1945 bahwa indonesi adalah Negara kesatuan sehingga boleh dilaksanakan otonomi daerah sebebas-bebasnya tetapi Negara Kesatuan itu dipakai dalam pendekatan pembuatan kebijakan,” kata Jimmy. 

Lebih lanjut Jimmy Usfunan menjelaskan dalam konteks ketatanegaraan, tidak hanya bicara soal relasi antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten Kota. Tapi juga dalam hirarkial kita juga melihat konteks pembagian kekuasaan antara Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. 

“Dalam perspektif eksekutif relevansinya antara pasal 18 ayat 1 Negara Kesatuan dibagi atas provinsi, Kabupaten dan Kota. Kemudian pasal 1 ayat 1 Indonesia Negara kesatuan maka kemudian kita bisa kaitkan kenapa Presiden memegang kekuasan pemerintahan. Kemudian kita korelasikan dengan pasal 4, sehingga cara membaca dalam konteks konstitusi dan komprehensif, kita bisa menarik benang merahnya. Terus apasih persoalannya, bagaimana PJ ini seharusnya dan bagaimana solusinya?  Secara hirarkial  Pusat, Provinsi, Kabupaten dan Kota secara kelembagaan dan kewenangan ada aspek Presiden sebagai otoritas  tertinggi  dalam pemerintahan karena hirarkinya seperti itu,” tutupnya.

RELATED ARTICLES

Most Popular