Syafii Maarif dan ‘Teologi Maut’

TEOLOGI MAUT, verbivora.com – Praktik intoleransi yang terjadi di Indonesia semakin ‘menggila’. Ia telah menggeser ruang keharmonisan yang didambakan begitu banyak orang di Indonesia.

Buya Syafii dan ‘Teologi Maut’
Mantan Ketua PP Muhammadiyah  Ahmad Syafii Maarif – Foto: Kompas.com

Gesekan konflik horizontal pun tak mampu diredam. Klaim kebenaran yang meminggirkan khazanah identitas multikultural memacu orang untuk ‘menggorok’ fakta keberlainan itu.

Adalah Ahmad Syafii Maarif , mengaku lelah melihat benturan-benturan horizontal atas nama suku, agama maupun ras yang mewarnai ruang wacana kebangsaan akhir-akhir ini.

Mantan Ketua PP Muhammadiyah itu mengkwatirkan munculnya konstruksi teologis yang ia sebut ‘Teologi Maut’. Teologi Maut menurut Buya, demikian ia disapa, tak segan menggeser nilai-nilai universal kehidupan lalu memonopoli kebenaran terhadap kelompok lain.

Para penganut paham ini berani menempuh jalan ekstrim seperti mengakhiri hidup demi membela ajarannya. Mereka pun tak canggung mengorbankan segalanya demi surga yang dikonstruksinya.

“Teologi maut, berani mati karena tidak berani hidup, memonopoli kebenaran bahwa di luar kami haram. Negara tidak boleh kalah,” ujar Buya dalam seminar bertajuk “Indonesia di Persimpangan: antara Negara Pancasila vs Negara Agama” di Hotel Aryaduta, Jakarta, Sabtu (8/4/2017).

Kelelahan sekaligus kegusaran Buya tentu tak boleh dianggap sepeleh. Ini persoalan serius yang mesti diselesaikan bersama. Ketika doktrin teologis radikalis memnetahkan rasionalitas para pengikutnya, maka ia akan berubah menjadi garang, sulit menerima yang berbeda dan cendrung mencap yang lain haram.

Penegak hukum tidak boleh membiarkan praktik intoleransi meruntuhkan tatanan hidup berbangsa dan bernegara kita. Apalagi harus menghancurkan Pancasila sebagai simbol yang menyatukan anak bangsa.

“Ada misleading fanatism. Karena kesenjangan begitu tajam. Kelompok sempalan yang ingin ganti Pancasila ini kecil, tapi bersuara lantang, harus dihadapi, aparat harus jeli, harus punya kepekaan”, lanjut Buya.

Saat ini Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) telah membina lebih dari 1.000 orang penganut radikalisme. Namun, menurut Buya, program itu tidaklah efektif.Letak persoalnnya adalah, bagaimana menerjemahkan nilai-nilai Pancasila untuk dihayati dan diimplementasi dalam kehidupan berbangsa.

“Tidak akan efektif selama nilai-nilai Pancasila di bawah tidak turun ke bumi,” ucap Buya Syafii.

Selain itu, kita mesti memiliki kesungguhan untuk membela bangsa ini dari hantaman radikalisme. Spirit itu mesti muncul dari kedalaman hati. Tak boleh pakai topeng.

“Jujur tidak kita bela bangsa ini? Sungguhkah? Itu harus datang dari hati dan akal sehat. Jangan pakai topenglah. Topeng-topeng itu sekarang di mana-mana dan merusak,” tutup Buya.* (Andy Tandang)

RELATED ARTICLES

Most Popular