Oleh: Rinto Namang*
Dalam konferensi pers terakhir ketika Nokia diakuisisi oleh
Microsoft, Stephen Elop, CEO Nokia, mengatakan: “kami tidak melakukan kesalahan
apapun, tapi, entah kenapa, kami kalah.” Kasus ini merupakan salah satu contoh
bahwa perusahaan besar dan mapan seperti Nokia dapat runtuh tanpa melakukan
kesalahan. Nokia punya sistem pemasaran yang bagus, pangsa pasar yang luas,
harga terjangkau, manajemen yang hebat, diisi oleh para teknisi yang
berpengalaman, tapi kenapa mereka kalah?
Jim Collins menyebut kekalahan tersebut lahir dari sikap
jumawah dan kurang awas terhadap perubahan yang terjadi. “Mereka yang sudah
bagus itu terlena, kurang awas. Sebab, yang bagus itu adalah musuh dari
kejayaan.” Sikap lena membuat Nokia tidak menyadari gempuran-gempuran (disruptions) dari luar dirinya. Disrupsi ini
bersifat mencerai beraikan struktur yang ajeg dan mapan. Bagaikan setiap
anggota tubuh yang tercerai berai, demikian yang terjadi pada perusahaan-perusahaan
mapan seperti Nokia.
PMKRI di Era Disrupsi
Teknologi
Dunia hari ini adalah dunia yang disruptif yang bergerak
cepat dalam kecanggihan aplikasi teknologi informasi. Anak-anak muda yang
berpikiran terbuka terhadap perubahan melihat kecanggihan aplikasi teknologi
informatika adalah sebuah jalan baru untuk keluar dari krisis ekonomi yang
melanda Asia (1997) dan Amerika Serikat (2008). “Mereka bukan saja
berwirausaha, melainkan mendisrupsi industri, meremajakan, dan membongkar
pendekatan-pendekatan lama dengan cara-cara baru” (Rhenald Kasali: 2017).
Perubahan tak bisa ditunda. Kemapanan dan pengalaman bukanlah
jaminan untuk tetap bertahan dan bersaing di era disrupsi ini. Nokia memberi
kita pelajaran penting. Kita bisa melakukan pengamatan di sekitar kita. Ojek
pangkalan terdisrupsi oleh Ojek online (Go-Jek, Grab, dll), perusahaan es balok
terdisrupsi oleh lemari es yang memproduksi es berukuran kecil untuk rumah
tangga, dan masih banyak contoh lainnya. Contoh-contoh itu hendak mengatakan
bahwa pengalaman, kemapanan, kualitas, pangsa pasar, dan sebagainya akan
tergeser oleh para pendatang baru (incumbent) yang terbuka terhadap masa depan.
Era disrupsi ini menghadapkan para petahana (incumbent)
dengan para pendatang baru (new comer) sebagai dua kekuatan yang saling melibas
dan kita segera tahu pemenangnya adalah para pendatang baru itu. Rhenald Kasali
membagi dua kenyataan ini ke dalam dua watak dan cara berpikir yang sama sekali
kontras.
Petahana cenderung kaku dan antiperubahan radikal serta
mengglorifikasi pengalaman masa lalu. Mereka terjebak dalam ‘pola berpikir yang
mapan’ (fixed mindset), yang melihat kecerdasan sebagai sesuatu yang statis.
Ciri-ciri orang dengan fixed mindset adalah orang yang mudah menyerah,
menghindari tantangan, melihat usaha sebagai kesia-siaan, terancam dengan
keberhasilan orang lain, mengabaikan kritik, serta susah move on dari kejayaan
masa lalu. Sementara di seberang sana terdapat para pendatang baru yang
memiliki cara berpikir yang maju dan terbuka (disruptive mindset/growth
mindset). Mereka adalah orang-orang yang melihat masa depan sebagai sebuah
tantangan sekaligus peluang, menerima tantangan baru, tahan uji terhadap
rintangan, belajar dari kritikan, dan berani mengambil resiko.
Disrupsi teknologi menyerang kekuatan lama dengan efek kejut
yang besar tanpa sang petahana sadar bahwa dirinya diserang. Selain punya efek
kejut (surprises), disrupsi teknologi mampu sekonyong-konyong menggeser (sudden
shift) status quo petahana sehingga nyaris kehilangan basis dan pasar dengan
kecepatan (speed) yang luar biasa.
Lantas bagaimana dengan PMKRI?
Setelah berdiri selama 72 tahun, PMKRI mandul dalam
melahirkan kader-kader yang handal dan inovatif untuk mewarnai Indonesia dalam
banyak aspek. Pada era pasca revolusi dan Orde Lama, kita boleh berbangga
karena dari rahim perhimpunan lahir tokoh-tokoh seperti Harry Tjan Silalahi,
Cosmas Batubara, Chris Siner Keytimu, Paulus Januar, dan lain sebagainya. Namun
di era pasca reformasi hingga kini, PMKRI mengalami menopause sehingga tak
mampu melahirkan anak-anak zaman yang terpandang dan disegani dalam kancah
nasional.
Selain itu pembinaan dan perjuangan PMKRI nyaris berlangsung
tanpa orientasi dan visi yang jelas. Visi-misi-nilai hanya jadi jargon dan
mantra agung untuk dipekik, tapi pelaksanaannya justru berlawanan arah.
Adakah kesalahan? Setelah sekian lama, terutama
pascareformasi, kita tidak menyadari bahwa perubahan sedang berlangsung dan
sangat cepat. Kita masih nyaman dalam kisah-kisah masa lalu dan malas beranjak
dari sana dan percaya bahwa kesetiaan dalam berproses di Margasiswa akan
mengantarkan kita menjadi orang sukses dengan semboyan tua “hasil tidak pernah
mengkhianati proses.” Proses memang penting. Namun di zaman ini, daya pacu
proses memainkan peran penting. Pilihannya bukan proses pelan dan cepat, tetapi
proses cepat atau lebih cepat. Sebab, melambat (sekalipun berproses) berarti
dilibas.
Tantangan utama PMKRI hari ini bukan seperti era 60 tahun
silam ketika dunia dalam tegangan Perang Dingin, tantangan kita hari ini adalah
kemajuan teknologi yang dengan cepat atau bahkan sangat cepat menyerang seluruh
sendi kehidupan. Bagi mereka yang siap sedia menghadapi kemajuan teknologi yang
cepat ini akan melihat peluang dan tantangan di dalamnya, tapi bagi mereka yang
abai dan tidak siap akan kalah dan mati terlindas.
Kasali mendeteksi ada tiga hal yang membuat sebuah organisasi
tidak berkembang dan mati. Pertama, organisasi yang terlalu mengglorifikasi
kejayaan masa lalu dan tinggal dengan nyaman di dalamnya; kedua, takut untuk
membongkar kemapanan; dan ketiga, tidak mampu berinovasi. Tiga hal ini membuat
sebuah organisasi seperti katak yang dimasukan ke dalam air lalu direbus, ia
tak sadar tapi akhirnya mati. Lalu apa yang harus dilakukan supaya dapat
bertahan hidup? Adaptasi dan kolaborasi menjadi sesuatu yang penting dan perlu.
PMKRI perlu meninggalkan masa lalu demi menatap masa depan
secara jernih. Keberlangsungan organisasi adalah tentang masa depan, tentang
bagaimana merumuskan strategi untuk diimplementasikan ke dalam situasi
kekinian. Untuk dapat menatap masa depan tanpa terjebak dalam bayang-bayang
glorifikasi masa lalu, maka diperlukan sebuah transformasi total tubuh
organisasi untuk merevitalisasi diri. Di atas segalanya inovasi menjadi hal
krusial agar organisasi selalu membaharui diri, menyesuaikan diri dengan
kemajuan zamannya. Peter F. Drucker mengatakan: “Bahaya terbesar dalam masa
penuh pergolakan bukan soal pergolakannya, tetapi bertindak dengan cara
berpikir kolot.”
Contoh, dalam bidang gerakan PMKRI masih menggunakan metode
gerakan yang konvensional dan demonstratif. Hari ini, dengan kemajuan teknologi
perubahan kebijakan pemerintah dapat diintervensi melalui aplikasi media sosial
yang mampu mempengaruhi opini publik melalui trending topic lewat Twitter atau
mengajukan tuntutan secara kolektif lewat situs change.org. Hal itu mungkin
terjadi jika setiap anggota PMKRI melek menggunakan Twitter dan perangkat
medsos lainnya.
Konteks PMKRI hari adalah dunia yang terdigitalisasi yang,
suka tak suka, harus dihadapi dengan strategi yang tepat dan segera. Hal paling
utama yang harus disadari dalam menghadapi era disrupsi teknologi ini adalah
tahu bahwa kita sedang berada dalam situasi itu. Sokrates mengajarkan kita
dengan “saya tahu bahwa saya tidak tahu” sebagai kesediaan untuk membuka diri
terhadap perubahan. Yang parah adalah memelihara sikap “saya tidak tahu bahwa
saya tidak tahu” dan keukeuh mempertahankannya. Sikap mempertahankan status quo
adalah sikap tidak ingin berubah.
Selalu ada pemenang dan pecundang dalam setiap kompetisi.
Yang menang bukan mereka yang besar dan kuat, punya modal besar, tetapi mereka
yang bisa beradaptasi dengan tuntutan zaman dan pada gilirannya menjadi anak
zaman. Ketidakberdayaan bisa menimpa siapa saja, termasuk PMKRI, jika PMKRI
terlena dan salah membaca tanda-tanda zaman, salah bergerak, atau terlambat
merespons situasi. Kita tak ingin PMKRI mati, kita ingin PMKRI tetap hidup,
maju, dan bergerak cepat. Tentu saja, kita tak ingin kemajuan teknologi yang
serba cepat ini menjadi lonceng kematian bagi PMKRI!
*Penulis adalah Presidium Gerakan Kemasyarakatan PP PMKRI
KOMENTAR